Kamis, 20 Desember 2012

RAMBU TUKA (RAMPANAN KAPA') : UPACARA PERNIKAHAN ADAT TANA TORAJA



konten event Toraja Lovely December

Penulis: Eka Novita Damayanti
            Mendengar nama Tana Toraja disebut orang, pikiran saya, mungkin juga pikiran sebagian besar orang akan ‘digiring’ kepada pada kuburan batu di tebing-tebing yang tinggi, kepada Rambu Solo atau upacara pemakaman secara adat Tana Toraja yang kondang itu dimana keluarga almarhum membuat sebuah upacara sebagai tanda penghormatan terakhir bagi saudara mereka yang telah meninggal dunia atau kepada tongkonan, rumah adat suku Tana Toraja yang bentuknya menyerupai tanduk kerbau itu. Ternyata saya keliru. Kebudayaan Tana Toraja yang sarat adat istidat jauh lebih beragam dari semua yang saya bayangkan. Begitu yang saya tahu dari Acok, teman saya.
            “Pernah mendengar Rambu Tuka atau Rampanan Kapa?” tanyanya. Pertanyaannya saya jawab dengan gelengan. Seumur-umur baru kali ini saya mendengar orang menyebutnya. Acok menjelaskan bahwa Rambu Tuka atau Rampanan Kapa adalah pesta pernikahan adat Tana Toraja, kampung halamannya, yang sama uniknya dengan kesenian-kesenian lain dari daerah itu yang sudah lebih dikenal orang semacam Rambu Solo, kuburan batu dan tongkonan. Disebut unik, karena beberapa hal tentang pesta pernikahan itu hanya ada di sama dan tak dijumpai di tempat lain.
            Keunikan pertama adalah pasangan pengantin di Tana Toraja disyahkan tidak oleh pemuka agama seperti di kebanyakan daerah, tapi oleh ketua adat atau Ada’ yang sangat dihormati di sana. Perkawinan di Tana Toraja adalah adanya persetujuan yang disyahkan dengan suatu perjanjian dihadapan pemerintah adat dan seluruh keluarga. Mengikuti perjanjian ini, ada peraturan dan hukum-hukum sebagai sangsi dalam perkawinan.
            “Namun di jaman sekarang, banyak pasangan yang mengkombinasikan keduanya. Tetap melaksanakan pesta pernikahan secara adat setelah mengikuti pemberkatan pernikahan di gereja.” kata Acok.
            Saya semakin tertarik dengan cerita Acok tentang Rambu Tuka atau Rampanan Kapa ini. Dengan semangat Acok yang baru seminggu lalu pulang kampung untuk menghadiri pernikahan sepupu jauhnya ini menjelaskan ada tiga macam pernikahan adat di sana. Yang pertama adalah Bo’bo’ Bannang atau pesta pernikahan yang dilakukan pada malam hari dengan cara sederhana atau biasa-biasa saja. Dihadiri beberapa undangan dan dua atau tiga orang laki-laki dari pihak mempelai lelaki sebagai pengantar sekaligus sebagai saksi dalam pernikahan itu. Namanya juga pesta yang sederhana, para tamu dijamu dengan lauk pauk sederhana juga seperti ikan dan satu dua ekor ayam.
            Selanjutnya adalah Rampo Karoen atu pesta pernikahan ala kelas menengah atau orang-orang yang lebih mampu secara ekonomi di Tana Toraja. Pada perkawinan yang dilaksanakan pada sore hari ini, dibacakan sedikit pantun-pantun perkawinan. Malam harinya yaitu pada saat menjelang jamuan makan, wakil-wakil kedua belah pihak, pengantin lelaki maupun perempuan mendengarkan ketentuan-ketentuan adat atau Tana pihak mempelai perempuan.  
Yang terakhir adalah Rampo Allo, pernikahan yang tertinggi staratanya menurut adat Toraja. Biasanya pelaksanaan Rampo Allo jauh lebih lama dibanding dua pernikahan sebelumnya. Jamuannya adalah babi dan ayam yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Baru hari itu aku tahu, sahabatku si Acok ini ternyata punya darah biru juga. Begitu yang aku simpulkan dari ceritanya yang lebih banyak membahas pernikahan ala Rampo Allo ini. Waktu aku tanyakan itu padaya, dengan wajah tersipu dia membenarkan itu.
            Berlanjut dengan prosesi pra pernikahan Rampo Allo keluarganya, Acok bilang sempat ‘ditodong’ oleh keluarga besar di sana sebagai salah satu utusan Palingka Kada ke rumah calon istri sepupunya itu. Mau menolak, dirinya tak enak hati, apalagi moment ini hanya sekali seumur hidup dan saat seluruh keluarga besarnya berkumpul.
Palingka Kada dilakukan oleh para utusan pengantin laki-laki sebelum pernikahan diselenggarakan yang tujuannya untuk berkenalan. Seperti prosesi pra pernikahan daerah-daerah lain di Indonesia, perkenalan dua keluarga, keluarga lelaki dan wanita  ini dirasakan perlu karena pernikahan pada dasarnya tidak hanya menyatukan dua insan saja, tapi juga menyatukan dua keluarga besar dan ini yang terpenting. Selain berkenalan. kesempatan ini juga digunakan para utusan calon mempelai pria untuk menggali informasi sebanyak mungkin tentang calon mempelai wanita. Terutama apakah yang bersangkutan masih lajang atau sudah ada ikatan dengan orang lain atau malahan sudah menjadi istri orang.  Setelah yakin bahwa si wanita memang benar melajang, maka disampaikanlah maksud kedatangan mereka yaitu adanya niatan baik untuk melamar si wanita untuk saudara mereka (calon mempelai laki-laki). Bila tanggapan baik yang diterima, maka prosesi pra pernikahan ala Rampo Allo ini bisa dilanjutkan ke tahapan kedua yaitu Umbaa Pangngan yang artinya mengatur dan mengantar sirih pinangan.
            Umbaa Pangngan dilakukan dengan mengutus beberapa lelaki dan wanita ke rumah calon mempelai wanita dengan membawa sirih pinangan yang ditempatkan dalam suatu wadah khusus yaitu Solong (pelepah pinang). Hantaran ini langsung disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan. Adapun penyerahan Solong ini bukan sekali, tapi tiga kali berturut-turut dengan utusan yang berbeda-beda setiap kali pengantaran. Penyerahan pertama dilakukan oleh tiga orang wanita dan seorang lelaki dari pihak calon mempelai pria sebagai pernyataan resmi melamar. Selanjutnya utusan dari pihak lelaki akan datang lagi sebanyak delapan orang sebagai pernyataan menunggu jawaban pinangan yang sudah diajukan. Terakhir pengutusan dalam Umbaa Pangngan berlanjut dengan mengirim dua belas orang dari pihak mempelai pria sebagai tanda bahwa  lamaran yang sudah diterima dan utusan datang lagi atas nama keluarga untuk membicarakan waktu dan tanggal perkawinan.
Berikutnya dalam prosesi pra pernikahan Rampo Allo ada Urrampan Kapa’ yang artinya keluarga laki-laki dan wanita membicarakan Tana’ perkawinan yaitu menentukan besarnya hukuman yang akan dijatuhkan kepada kedua calon mempelai apabila kelak setelah menikah melakukan perbuatan yang melanggar komitmen berumah tangga. Jadi semacam perjanjian pre wedding lah.  Agak ketat mungkin, tapi perjanjian atau Kapa’ ini ujung-ujungnya melindungi kedua pihak juga. Ini keunikan lain yang saya catat dari cerita Acok tentang kebudayaan Tana Toraja. Jadi, bukan hanya orang-orang Barat saja dengan peradaban modern mereka saja ya yang punya perjanjian sebelum menikahm Suku Tana Toraja pun demikian. Bahkan sejak lama pula.
Selanjutnya adalah hari yang ditunggu-tunggu, hari H pernikahan. Pasangan pengantin berjalan ke areal resepsi (sesudah pemberkatan pernikahan di gereja) dengan dikawal sekawanan lelaki berbaju prajurit adat Toraja dan bertombak. Saya nyaris tak mengenali ada sahabat saya Acok dalam barisan anak-anak muda itu. Penampilannya dalam balutan baju adat sungguh membuat pangling. Sayang, karena alasan pribadi yang tak terlalu jelas, Acok temanku yang pemalu ini tak bersedia koleksi photo-photonya aku copy apalagi sebarkan dalam tulisanku ini. Jadilah saya mencamtumkan photo-photo dari mengunduh dari mesin pencari di dunia maya. (Terimakasih banyak kepada Hariyantowijoyo, website Wonderful Indonesia atas koleksi photo-photonya dan website http://www.mymakassar.com atas inspirasi yang membuat saya menulis tentang Rambu Tuka ini).

Barisan Prajurit Berbaju Adat yang Mengawal Iring-Iringan Pengantin Tana Toraja (Photo Milik: Hariyanto)
Dalam perjalanan ke tempat resepsi, baik barisan prajurit maupun barisan pagar ayu, masing-masing melakukan sebuah atraksi. Para prajurit memperagakan semacam tarian perang dan
Setelah barisan prajurit, selanjutnya barisan pagar ayu yang bertaraksi. Mereka menari diiringi aluan music seraya memegang bokor. Mereka berdiri persis di depan barisan pembawa mas kawin (bisa uang atau barang-barang yang sudah ditentukan). Sama seperti para prajurit adat, para gadis cantik ini juga berbaju adat yaitu baju kandore . Tarian yang biasanya diperagakan dalam Rambu Tuka’ umumnya adalah tarian Pa’ Gellu, Pa’ Boneballa, Gellu Tungga’, Ondo Samalele, Pa’Dao Bulan, Pa’Burake, Memanna, Maluya, Pa’Tirra’, Panimbong dan masih banyak lagi. Sedangkan musik tradisional yang mengiringinya adalah musik Pa’pompang, musik Pa’Barrung dan musik Pa’pelle’


Barisan Pagar Ayu Berbaju Adat yang Mengawal Iring-Iringan Pengantin Tana Toraja (Photo Milik: Hariyanto)


Pengantin Berbaju Adat Tana Toraja (Photo Milik: Hariyanto)
Kata Acok ada semacam ketetapan di sana, bahwa musik dan tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo’ (upacara kematian) tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka’ (pernikahan). (Ya, iya dong Acok, masak sedang bersenang-senang disugguhi musik berkabung?)
Setelah para gadis ini selesai beratraksi, giliran pembawa mas kawin di belakangnya, baru setelahnya si empunya hajat, sepasang pengantin itu, sepupu si Acok ini. Bersama dalam rombongan, mereka menuju tempat resepsi pernikahan yang sudah ditentukan. Selama di perjalanan, musik terus diperdengarkan dan di tempat resepsi lagi-lagi rombongan disambut oleh atraksi dan juga tarian lagi sampai mereka naik ke pelaminan.
Melihat satu lagi photo si sepupu Acok, saya berpikir mungkin ini juga satu keunikan upacara Rambu Tuka’. Pasangan pengantin dan orangtuanya naik ke pelaminan yang dibuat tepat di bawah tongkonan atau rumah adat Toraja yang dihiasi dengan ukiran berwarna hitam, merah dan kuning. Kata Tongkonan sendiri berasal dari bahasa Toraja yaitu  Tongkon yang berarti duduk. Orang tak akan menemukannya di manapun yang seperti ini, tapi itupun belum seberapa. Menurut Acok, terkadang di atas tongkonan dan pelaminan, dipajang berjejer tengkorak manusia aseli yang juga tak akan kita temukan yang seperti ini di manapun di seluruh dunia. Belakangan saya ketahui peletakan tengkorak ini bukan tanpa makna karena tengkorak yang diletakkan juga bukan tengkorak sembarangan tapi tengkorak jasad nenek moyang yang sangat dihormati dalam tradisi masyarakat Tana Toraja. 


Pengantin Adat Toraja Bersanding di Pelaminan di Bawah Tongkon
(Photo Milik: Hariyanto)


Tengkorak Aseli Nenek Moyang di Atas Rumah Adat Tongkon Tana Toraja ( Photo Milik: Hariyanto)

Tengkorak Aseli Nenek Moyang di Atas Rumah Adat Tongkon Tana Toraja (Photo Milik: Hariyanto)
Dalam pernikahan Rampo Allo, para undangan dibuatkan pondok dari bambu yang memanjang, dan di sesuaikan dengan asal kampung mereka. 
Para Undangan Duduk di Pondok Bambu Sambil Menikamati Tuak Sebagai Penghormatan Terhadap Tuan Rumah (Photo Milik: Hariyanto) 
Undangan lain yang memiliki posisi tinggi di pemerintahan atau memiliki kedudukan dalam Dewan Adat atau berdarah bangsawanan, alang tempat duduknya tepat di bawah lumbung, yang merupakan tempat kehormatan. 

Di Bawah Lumbung. Tempat Berkumpulannya Tamu-Tamu Kehormatan
Photo Milik: Hariyanto

Sedangkan pihak keluarga berkumpul di tongkonan yang berderet tepat di depan pelaminan dengan setiap  tongkonan diberi kertas besar bertuliskan nama keluarga masing-masing. 

Tongkonan. Rumah Adat Tana Toraja
(Photo Milik: Wonderful Indonesia)

Para undangan, biasanya datang membawa jerigen berisi tuak, yang digunakan sebagai minuman pengganti air putih usai santap siang. Hal ini merupakan tradisi masyarakat Toraja, sebagai penghormatan terhadap tuan rumah.
Seperti layaknya pesta-pesta pernikahan di tempat lain, puncak pernikahan adalah seluruh undangan menyalami pasangan pengantin baru dan keluarganya plus dokumentasi sebagai kenang-kenangan tak terlupakan seumur hidup, tapi prosesi sesungguhnya ternyata belum berakhir. Lho kok bisa? Ya, masih ada dua lagi prosesi tersisa setelah pesta yang juga tak kalah pentingnya yaitu Dinasuan / dipandanni langngan dan Umpasule Barasang.
Dinasuan / dipandanni langngan adalah bertemunya lagi wakil dari laki-laki atau  To Umbongsoran Kapa’ dan wakil dari perempuan atau To Untimangan Kapa’ setelah pesta pernikahan di rumah keluarga mempelai laki-laki. Dinasuan / dipandanni langngan ini menandakan hubungan keluarga keduanya yang sudah semakin akrab karena sudah saling makan makanan dari rumah keduanya. Dalam pertemuan itu kedua pihak saling melantunkan syair dan pantun perkawinan dan mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa' raja-raja dahulu kala yang harus menjadi contoh kepada manusia-manusia yang berasal dari kasta bangsawan.
Sesudah tiga hari, giliran pihak keluarga pengantin laki-laki yang melakukan kunjungan balasan ke rumah wanita untuk mengakhiri keseluruhan prosesi perkawinan atau Umpasule Barasang. Bakul berisi makanan yang pernah dikirim oleh wakil perempuan ke rumah laki-laki, kini dikembalikan ke rumah perempuan lagi dengan diisi makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa bentuk kiasan yang menyerupai anak babi, kerbau, ayam, dll yang dibuat dari tepung beras yang dinamakan Kampodang. Hantaran tersebut setibanya di rumah perempuan akan dimakan pula bersama sekeluarga besar, dan sesudah makan bersama, keluarga pihak laki-laki pulang ke rumah mereka meninggalkan si pengantin laki-laki untuk menetap di rumah perempuan/orang tua perempuan.
Demikian kurang dan lebihnya prosesi pernikahan Rambu Tuka atau Rampanan Kapa' adat Tana Toraja versi Rampo Allo yang makan waktu lebih lama dibanding pernikahan dalam tingkatan yang lainnya (Pernikahan Bo’bo’ Bannang yang sederhana dan Pernikahan Rampo Karoen yang menengah). Pernikahan yang demikian itu umumnya dilakukan oleh keluarga Tana' Bulaan yang berkesanggupan secara ekonomi dan sangat jarang dilakukan oleh Tana’ Tana’ yang lainnya. Sedikit merepotkan memang karena begitu banyak dan njelimet nya prosesi yang harus dilalui dan juga banyaknya biaya. tapi itulah kelebihannya. Pasangangan pengantin benar-benar merasa menjadi raja dan ratu sehari.
Saya sangat berharap dengan tulisan saya ini dan dengan Event Toraja Lovely December yang sangat bagus ini, saya dapat berpartisipasi mempromosikan keindahan budaya Indonesia khususnya Tana’ Toraja baik di dalam maupun luar negeri. Lagi pula bila bukan kaum muda penerus bangsa ini yang melestarikan adat budaya sendiri, siapakah lagi yang akan melestarikannya? 


http://www.mymakassar.com

2 komentar:

  1. terimakasih sudah berkenan menghadirkan koleksi pribadi foto-foto pesta pernikahan adat toraja di blog ini..., sekedar saran, kalau bisa selain nama, tampilkan juga link ke BlogS Of Hariyanto...,
    salam sukses selalu dari Makassar :-)

    BalasHapus