Kamis, 20 Desember 2012

RAMBU TUKA (RAMPANAN KAPA') : UPACARA PERNIKAHAN ADAT TANA TORAJA



konten event Toraja Lovely December

Penulis: Eka Novita Damayanti
            Mendengar nama Tana Toraja disebut orang, pikiran saya, mungkin juga pikiran sebagian besar orang akan ‘digiring’ kepada pada kuburan batu di tebing-tebing yang tinggi, kepada Rambu Solo atau upacara pemakaman secara adat Tana Toraja yang kondang itu dimana keluarga almarhum membuat sebuah upacara sebagai tanda penghormatan terakhir bagi saudara mereka yang telah meninggal dunia atau kepada tongkonan, rumah adat suku Tana Toraja yang bentuknya menyerupai tanduk kerbau itu. Ternyata saya keliru. Kebudayaan Tana Toraja yang sarat adat istidat jauh lebih beragam dari semua yang saya bayangkan. Begitu yang saya tahu dari Acok, teman saya.
            “Pernah mendengar Rambu Tuka atau Rampanan Kapa?” tanyanya. Pertanyaannya saya jawab dengan gelengan. Seumur-umur baru kali ini saya mendengar orang menyebutnya. Acok menjelaskan bahwa Rambu Tuka atau Rampanan Kapa adalah pesta pernikahan adat Tana Toraja, kampung halamannya, yang sama uniknya dengan kesenian-kesenian lain dari daerah itu yang sudah lebih dikenal orang semacam Rambu Solo, kuburan batu dan tongkonan. Disebut unik, karena beberapa hal tentang pesta pernikahan itu hanya ada di sama dan tak dijumpai di tempat lain.
            Keunikan pertama adalah pasangan pengantin di Tana Toraja disyahkan tidak oleh pemuka agama seperti di kebanyakan daerah, tapi oleh ketua adat atau Ada’ yang sangat dihormati di sana. Perkawinan di Tana Toraja adalah adanya persetujuan yang disyahkan dengan suatu perjanjian dihadapan pemerintah adat dan seluruh keluarga. Mengikuti perjanjian ini, ada peraturan dan hukum-hukum sebagai sangsi dalam perkawinan.
            “Namun di jaman sekarang, banyak pasangan yang mengkombinasikan keduanya. Tetap melaksanakan pesta pernikahan secara adat setelah mengikuti pemberkatan pernikahan di gereja.” kata Acok.
            Saya semakin tertarik dengan cerita Acok tentang Rambu Tuka atau Rampanan Kapa ini. Dengan semangat Acok yang baru seminggu lalu pulang kampung untuk menghadiri pernikahan sepupu jauhnya ini menjelaskan ada tiga macam pernikahan adat di sana. Yang pertama adalah Bo’bo’ Bannang atau pesta pernikahan yang dilakukan pada malam hari dengan cara sederhana atau biasa-biasa saja. Dihadiri beberapa undangan dan dua atau tiga orang laki-laki dari pihak mempelai lelaki sebagai pengantar sekaligus sebagai saksi dalam pernikahan itu. Namanya juga pesta yang sederhana, para tamu dijamu dengan lauk pauk sederhana juga seperti ikan dan satu dua ekor ayam.
            Selanjutnya adalah Rampo Karoen atu pesta pernikahan ala kelas menengah atau orang-orang yang lebih mampu secara ekonomi di Tana Toraja. Pada perkawinan yang dilaksanakan pada sore hari ini, dibacakan sedikit pantun-pantun perkawinan. Malam harinya yaitu pada saat menjelang jamuan makan, wakil-wakil kedua belah pihak, pengantin lelaki maupun perempuan mendengarkan ketentuan-ketentuan adat atau Tana pihak mempelai perempuan.  
Yang terakhir adalah Rampo Allo, pernikahan yang tertinggi staratanya menurut adat Toraja. Biasanya pelaksanaan Rampo Allo jauh lebih lama dibanding dua pernikahan sebelumnya. Jamuannya adalah babi dan ayam yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Baru hari itu aku tahu, sahabatku si Acok ini ternyata punya darah biru juga. Begitu yang aku simpulkan dari ceritanya yang lebih banyak membahas pernikahan ala Rampo Allo ini. Waktu aku tanyakan itu padaya, dengan wajah tersipu dia membenarkan itu.
            Berlanjut dengan prosesi pra pernikahan Rampo Allo keluarganya, Acok bilang sempat ‘ditodong’ oleh keluarga besar di sana sebagai salah satu utusan Palingka Kada ke rumah calon istri sepupunya itu. Mau menolak, dirinya tak enak hati, apalagi moment ini hanya sekali seumur hidup dan saat seluruh keluarga besarnya berkumpul.
Palingka Kada dilakukan oleh para utusan pengantin laki-laki sebelum pernikahan diselenggarakan yang tujuannya untuk berkenalan. Seperti prosesi pra pernikahan daerah-daerah lain di Indonesia, perkenalan dua keluarga, keluarga lelaki dan wanita  ini dirasakan perlu karena pernikahan pada dasarnya tidak hanya menyatukan dua insan saja, tapi juga menyatukan dua keluarga besar dan ini yang terpenting. Selain berkenalan. kesempatan ini juga digunakan para utusan calon mempelai pria untuk menggali informasi sebanyak mungkin tentang calon mempelai wanita. Terutama apakah yang bersangkutan masih lajang atau sudah ada ikatan dengan orang lain atau malahan sudah menjadi istri orang.  Setelah yakin bahwa si wanita memang benar melajang, maka disampaikanlah maksud kedatangan mereka yaitu adanya niatan baik untuk melamar si wanita untuk saudara mereka (calon mempelai laki-laki). Bila tanggapan baik yang diterima, maka prosesi pra pernikahan ala Rampo Allo ini bisa dilanjutkan ke tahapan kedua yaitu Umbaa Pangngan yang artinya mengatur dan mengantar sirih pinangan.
            Umbaa Pangngan dilakukan dengan mengutus beberapa lelaki dan wanita ke rumah calon mempelai wanita dengan membawa sirih pinangan yang ditempatkan dalam suatu wadah khusus yaitu Solong (pelepah pinang). Hantaran ini langsung disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan. Adapun penyerahan Solong ini bukan sekali, tapi tiga kali berturut-turut dengan utusan yang berbeda-beda setiap kali pengantaran. Penyerahan pertama dilakukan oleh tiga orang wanita dan seorang lelaki dari pihak calon mempelai pria sebagai pernyataan resmi melamar. Selanjutnya utusan dari pihak lelaki akan datang lagi sebanyak delapan orang sebagai pernyataan menunggu jawaban pinangan yang sudah diajukan. Terakhir pengutusan dalam Umbaa Pangngan berlanjut dengan mengirim dua belas orang dari pihak mempelai pria sebagai tanda bahwa  lamaran yang sudah diterima dan utusan datang lagi atas nama keluarga untuk membicarakan waktu dan tanggal perkawinan.
Berikutnya dalam prosesi pra pernikahan Rampo Allo ada Urrampan Kapa’ yang artinya keluarga laki-laki dan wanita membicarakan Tana’ perkawinan yaitu menentukan besarnya hukuman yang akan dijatuhkan kepada kedua calon mempelai apabila kelak setelah menikah melakukan perbuatan yang melanggar komitmen berumah tangga. Jadi semacam perjanjian pre wedding lah.  Agak ketat mungkin, tapi perjanjian atau Kapa’ ini ujung-ujungnya melindungi kedua pihak juga. Ini keunikan lain yang saya catat dari cerita Acok tentang kebudayaan Tana Toraja. Jadi, bukan hanya orang-orang Barat saja dengan peradaban modern mereka saja ya yang punya perjanjian sebelum menikahm Suku Tana Toraja pun demikian. Bahkan sejak lama pula.
Selanjutnya adalah hari yang ditunggu-tunggu, hari H pernikahan. Pasangan pengantin berjalan ke areal resepsi (sesudah pemberkatan pernikahan di gereja) dengan dikawal sekawanan lelaki berbaju prajurit adat Toraja dan bertombak. Saya nyaris tak mengenali ada sahabat saya Acok dalam barisan anak-anak muda itu. Penampilannya dalam balutan baju adat sungguh membuat pangling. Sayang, karena alasan pribadi yang tak terlalu jelas, Acok temanku yang pemalu ini tak bersedia koleksi photo-photonya aku copy apalagi sebarkan dalam tulisanku ini. Jadilah saya mencamtumkan photo-photo dari mengunduh dari mesin pencari di dunia maya. (Terimakasih banyak kepada Hariyantowijoyo, website Wonderful Indonesia atas koleksi photo-photonya dan website http://www.mymakassar.com atas inspirasi yang membuat saya menulis tentang Rambu Tuka ini).

Barisan Prajurit Berbaju Adat yang Mengawal Iring-Iringan Pengantin Tana Toraja (Photo Milik: Hariyanto)
Dalam perjalanan ke tempat resepsi, baik barisan prajurit maupun barisan pagar ayu, masing-masing melakukan sebuah atraksi. Para prajurit memperagakan semacam tarian perang dan
Setelah barisan prajurit, selanjutnya barisan pagar ayu yang bertaraksi. Mereka menari diiringi aluan music seraya memegang bokor. Mereka berdiri persis di depan barisan pembawa mas kawin (bisa uang atau barang-barang yang sudah ditentukan). Sama seperti para prajurit adat, para gadis cantik ini juga berbaju adat yaitu baju kandore . Tarian yang biasanya diperagakan dalam Rambu Tuka’ umumnya adalah tarian Pa’ Gellu, Pa’ Boneballa, Gellu Tungga’, Ondo Samalele, Pa’Dao Bulan, Pa’Burake, Memanna, Maluya, Pa’Tirra’, Panimbong dan masih banyak lagi. Sedangkan musik tradisional yang mengiringinya adalah musik Pa’pompang, musik Pa’Barrung dan musik Pa’pelle’


Barisan Pagar Ayu Berbaju Adat yang Mengawal Iring-Iringan Pengantin Tana Toraja (Photo Milik: Hariyanto)


Pengantin Berbaju Adat Tana Toraja (Photo Milik: Hariyanto)
Kata Acok ada semacam ketetapan di sana, bahwa musik dan tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo’ (upacara kematian) tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka’ (pernikahan). (Ya, iya dong Acok, masak sedang bersenang-senang disugguhi musik berkabung?)
Setelah para gadis ini selesai beratraksi, giliran pembawa mas kawin di belakangnya, baru setelahnya si empunya hajat, sepasang pengantin itu, sepupu si Acok ini. Bersama dalam rombongan, mereka menuju tempat resepsi pernikahan yang sudah ditentukan. Selama di perjalanan, musik terus diperdengarkan dan di tempat resepsi lagi-lagi rombongan disambut oleh atraksi dan juga tarian lagi sampai mereka naik ke pelaminan.
Melihat satu lagi photo si sepupu Acok, saya berpikir mungkin ini juga satu keunikan upacara Rambu Tuka’. Pasangan pengantin dan orangtuanya naik ke pelaminan yang dibuat tepat di bawah tongkonan atau rumah adat Toraja yang dihiasi dengan ukiran berwarna hitam, merah dan kuning. Kata Tongkonan sendiri berasal dari bahasa Toraja yaitu  Tongkon yang berarti duduk. Orang tak akan menemukannya di manapun yang seperti ini, tapi itupun belum seberapa. Menurut Acok, terkadang di atas tongkonan dan pelaminan, dipajang berjejer tengkorak manusia aseli yang juga tak akan kita temukan yang seperti ini di manapun di seluruh dunia. Belakangan saya ketahui peletakan tengkorak ini bukan tanpa makna karena tengkorak yang diletakkan juga bukan tengkorak sembarangan tapi tengkorak jasad nenek moyang yang sangat dihormati dalam tradisi masyarakat Tana Toraja. 


Pengantin Adat Toraja Bersanding di Pelaminan di Bawah Tongkon
(Photo Milik: Hariyanto)


Tengkorak Aseli Nenek Moyang di Atas Rumah Adat Tongkon Tana Toraja ( Photo Milik: Hariyanto)

Tengkorak Aseli Nenek Moyang di Atas Rumah Adat Tongkon Tana Toraja (Photo Milik: Hariyanto)
Dalam pernikahan Rampo Allo, para undangan dibuatkan pondok dari bambu yang memanjang, dan di sesuaikan dengan asal kampung mereka. 
Para Undangan Duduk di Pondok Bambu Sambil Menikamati Tuak Sebagai Penghormatan Terhadap Tuan Rumah (Photo Milik: Hariyanto) 
Undangan lain yang memiliki posisi tinggi di pemerintahan atau memiliki kedudukan dalam Dewan Adat atau berdarah bangsawanan, alang tempat duduknya tepat di bawah lumbung, yang merupakan tempat kehormatan. 

Di Bawah Lumbung. Tempat Berkumpulannya Tamu-Tamu Kehormatan
Photo Milik: Hariyanto

Sedangkan pihak keluarga berkumpul di tongkonan yang berderet tepat di depan pelaminan dengan setiap  tongkonan diberi kertas besar bertuliskan nama keluarga masing-masing. 

Tongkonan. Rumah Adat Tana Toraja
(Photo Milik: Wonderful Indonesia)

Para undangan, biasanya datang membawa jerigen berisi tuak, yang digunakan sebagai minuman pengganti air putih usai santap siang. Hal ini merupakan tradisi masyarakat Toraja, sebagai penghormatan terhadap tuan rumah.
Seperti layaknya pesta-pesta pernikahan di tempat lain, puncak pernikahan adalah seluruh undangan menyalami pasangan pengantin baru dan keluarganya plus dokumentasi sebagai kenang-kenangan tak terlupakan seumur hidup, tapi prosesi sesungguhnya ternyata belum berakhir. Lho kok bisa? Ya, masih ada dua lagi prosesi tersisa setelah pesta yang juga tak kalah pentingnya yaitu Dinasuan / dipandanni langngan dan Umpasule Barasang.
Dinasuan / dipandanni langngan adalah bertemunya lagi wakil dari laki-laki atau  To Umbongsoran Kapa’ dan wakil dari perempuan atau To Untimangan Kapa’ setelah pesta pernikahan di rumah keluarga mempelai laki-laki. Dinasuan / dipandanni langngan ini menandakan hubungan keluarga keduanya yang sudah semakin akrab karena sudah saling makan makanan dari rumah keduanya. Dalam pertemuan itu kedua pihak saling melantunkan syair dan pantun perkawinan dan mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa' raja-raja dahulu kala yang harus menjadi contoh kepada manusia-manusia yang berasal dari kasta bangsawan.
Sesudah tiga hari, giliran pihak keluarga pengantin laki-laki yang melakukan kunjungan balasan ke rumah wanita untuk mengakhiri keseluruhan prosesi perkawinan atau Umpasule Barasang. Bakul berisi makanan yang pernah dikirim oleh wakil perempuan ke rumah laki-laki, kini dikembalikan ke rumah perempuan lagi dengan diisi makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa bentuk kiasan yang menyerupai anak babi, kerbau, ayam, dll yang dibuat dari tepung beras yang dinamakan Kampodang. Hantaran tersebut setibanya di rumah perempuan akan dimakan pula bersama sekeluarga besar, dan sesudah makan bersama, keluarga pihak laki-laki pulang ke rumah mereka meninggalkan si pengantin laki-laki untuk menetap di rumah perempuan/orang tua perempuan.
Demikian kurang dan lebihnya prosesi pernikahan Rambu Tuka atau Rampanan Kapa' adat Tana Toraja versi Rampo Allo yang makan waktu lebih lama dibanding pernikahan dalam tingkatan yang lainnya (Pernikahan Bo’bo’ Bannang yang sederhana dan Pernikahan Rampo Karoen yang menengah). Pernikahan yang demikian itu umumnya dilakukan oleh keluarga Tana' Bulaan yang berkesanggupan secara ekonomi dan sangat jarang dilakukan oleh Tana’ Tana’ yang lainnya. Sedikit merepotkan memang karena begitu banyak dan njelimet nya prosesi yang harus dilalui dan juga banyaknya biaya. tapi itulah kelebihannya. Pasangangan pengantin benar-benar merasa menjadi raja dan ratu sehari.
Saya sangat berharap dengan tulisan saya ini dan dengan Event Toraja Lovely December yang sangat bagus ini, saya dapat berpartisipasi mempromosikan keindahan budaya Indonesia khususnya Tana’ Toraja baik di dalam maupun luar negeri. Lagi pula bila bukan kaum muda penerus bangsa ini yang melestarikan adat budaya sendiri, siapakah lagi yang akan melestarikannya? 


http://www.mymakassar.com

RAMBU TUKA (RAMPANAN KAPA') : THE PRECIOUS TRADITIONAL WEDDING CEREMONY FROM TANA TORAJA



Toraja Lovely December Event

By: Eka Novita Damayanti
            My mind flew to traditional graves up to the high stone hills, to the famous Rambu Solo (traditional burial ceremony of the royal class) and to Tongkonan (the traditional house which the roof made like buffalo’s head) as I heard people mentioned Tana’ Toraja. And I thought, so did most people. But the thought was wrong. The famous Tana Toraja has gotten more to see and to learn than those things.  That was what Acok, my best friend, told me.
            “Have you ever heard about Rambu Tuka or Rampanan Kapa?” he asked me. I answered the question by moving my head from side to side. That was all new for me. What is Rambu Tuka or Rampanan Kapa all about? Acok explained me that Rambu Tuka or Rampanan Kapa was traditional wedding ceremony from Tana’Toraja. The ceremony is as unique and precious as other ceremonies that have been known first all over the world from Tana Toraja, since there are things about Rambu Tuka (Rampanan Kapa) that people would not find anywhere else, but in Tana Toraja (South Sulawesi/ South Celebes).
            The first thing that is unique about Rambu Tuka (Rampanan Kapa) Wedding Ceremony is, it is not a priest nor a clergyman that pronounces the couple as husband and wife, but Ada’ (men that are responsible for the local customs and tradition) and people of Tana’ Toraja put their big respect to them.
            “Recently, young couples have been doing different things.” said Acok. “They get married in the churches and let the priests legalize their wedding, while still hold their wedding party in traditional (Rambu Tuka) way.
            I asked him more and more questions about this Rambu Tuka as I have got more interested in it and that made Acok honored. He enthusiastically told me about his cousin’ Rambu Tuka Wedding Ceremony he just attended previous week. Acok said there were three types of traditional wedding ceremonies there where every type is based on the economical advantage or disadvantage and the caste in society people have.
            The first type is Bo’bo’ Bannang or the simplest traditional wedding ceremony, conducted mostly in the evening by common people. A few people and two or three men of the groom’s family are invited. The groom’s men also take part as witnesses in this ceremony. Since Bo’bo’ Bannang is a simple wedding ceremony, the food served is also simple, consist of some fish and one or two chicken(s).
             The second is Rampo Karoen or traditional wedding ceremony for middle class of people. They have advantage in economic more than the previous one and also have middle caste rank in the society. Unlike Bo’bo’ Bannang that is usually held only in the evening, this Rampo Karoen requires longer time (usually from the afternoon until the evening).
There would be read some wedding poems during the wedding, and right before the dinner, all guests and families of the bride and groom will also hear to somebody reading rules and regulation agreed out of Tana, the place where the bride comes from.
The third is Rampo Allo (the highest Rambu Tuka Wedding Ceremony in Society) for the highest class of people (the nobles). These people have the highest economic advantage and caste rank in the society among all. The ceremony they hold requires longest time, more money and energy and during the party, all guests and families are invited in a fancy dinning.
There are some steps the nobles should do before Rampo Allo, like family of the prospective groom sends a delegation to visit his prospective bride and her family at their house or Palingka Kada. Any tribe all over Indonesia consider a marriage as a process that gathers not only two persons (a man and a woman), but also their two big families, so does Toraja tribe. Palingka Kada is an important process and meant to get to know each other better.
“I kept saying that I was too young for this task and ain’t got any experience before, but they urged me.” Acok told me when his big family appointed him as one of the delegations to this Palingka Kada Procession.
“They said any experience was unnecessary, since I did not have to do anything but to sit and listen.” he laughed.
Besides to get to know each other better, the family of the prospective groom also uses this good chance to gather as many information as they can about the girl such as her status (whether she has gotten any relationship with somebody currently). After they have sufficient information about the girl, the delegations inform the aim of their coming is to propose the girl for their son/ grandson/ brother/ cousin. If a good response they get, they would proceed the procession to Umbaa Pangngan (to pack piper beetle leaf in a special package made of palm leaves’ stem called Solong and to deliver it as a gift for the girl’s mother or granny). Umbaa Pangngan is done by some women and a man of the prospective groom’s family.  This symbolizes that they are really serious in proposing the girl.
Hearing to Acok’s complete explanation mostly about Rampo Allo, I had a feeling that he was a noble. When I confirmed about it to Acok, this shy guy went red in his face replied me.
“Well….I am.”  he replied.
After the first delivery of Umbaa Pangngan, there would be the second and the third. The second delivery of Umbaa Pangngan is done by more people (about eight people) to the girl house, as a symbol that the prospective groom and his family are waiting for an answer of their proposal.  The last procession of this Umbaa Pangngan is done by about twelve people. At this step, the proposal is already accepted and the coming aims to discuss the perfect time to hold the ceremony.
             Next in Rampo Allo pre wedding ceremony, is Urrampan Kapa’. In Urrampan Kapa’, two families gather to discuss Tana’ of the Marriage (pre wedding agreement about what punishment the man and the woman get if someday during the marriage they do things that break the commitment: like doing mentally and physically abuse, cheating to each other, etc). It is kind of strict, but Kapa’ protects two parts (man and woman from any disadvantage possibility). That was what I learnt from Acok about Tana Toraja’s culture. So, it is not only people in the western who have such agreement, Tana’ Toraja tribes have it too since a long time ago.
            Then there comes the big day, the wedding day. The couple walks down the street (after the blessing of their marriage at church) together with some young men dressed in Tana Toraja traditional soldier costumes, the bride maids (also dressed in Tana Toraja traditional costumes, Kandore and some people carrying gifts for the bride to the wedding party area. I hardly could recognize Acok in a photo he saw me. He looked so different (handsome I meant) in Tana Toraja traditional soldier costume. Unfortunately, he was so shy and did not let me to use his private collections of Rambu Tuka’s ceremony for this writing. So, to support my article, I used images I down loaded from the internet. (Thank you so much for Hariyanto wijoyo, Wonderful Indonesia Tourism website for the photos and www.mymakassar.com for the inspiration).

Young Men Dressed in Tana Toraja Soldier Costumes, Walking down the Street before the Bride and the Groom
 (Photo Belongs: to Hariyanto)

During the walking, both soldiers and bride maids do their attractions. The soldiers do dancing (I do know for sure what kind of dance it is, but I suppose it is a battle dance), while the bride maids do dancing like Pa’ Gellu Dance, Pa’ Boneballa Dance, Gellu Tungga’ Dance, Ondo Samalele Dance, Pa’Dao Bulan Dance, Pa’Burake Dance, Memanna Dance, Maluya Dance, Pa’Tirra’ Dance or Panimbong Dance while holding silver bowls. Traditional music that use to play in this happy moment are Pa’pompang, Pa’Barrung and Pa’pelle’


The Bride Maids Dressed in Tana Toraja Traditional  Costumes, Kandore.
 (Photo Belongs: to Hariyanto)


Tana Toraja’s Bride and Groom.
 (Photo Belongs: to Hariyanto)

Acok said there was an unwritten rule there in Tana Toraja that music and dances that use to be played in Rambu Solo’ (The Famous Burial Ceremony) are prohibited in Rambu Tuka (Rampanan Kapa) Wedding Ceremony. (Common Man, of course you can’t play that kind of music in happy moments like a wedding!)
When Acok shared me again another image of his cousin’s wedding, again I think that is another special thing about Rambu Tuka’ and people would not find thing like this anywhere else. The bride and groom together with their parents come up and sit on the wedding dais built right under The Tongkonan (traditional house from Tana’Toraja with black, red and yellow colored of wood carving). The word of Tongkonan, comes from Toraja’s word, Tongkon, which means to sit.
Is there anything more? Sure. And honestly, this a little bit surprised me as Acok said this. Sometimes right up the Tongkonan and the wedding dais, real human skulls are displayed. Why? It is because Toraja tribes put their big respect to their great grandparents and the displaying the skulls there means as an honor for them. This also could not be found anywhere else around the world.

Tana’ Toraja’s Bride, Groom and Their Parents sitting on the Wedding Dais (Photo Belongs: to Hariyanto)

The Real Skulls of Toraja’s Tribes’ Great Grandparents Displayed up the Tongkonan (Photo Belongs: to Hariyanto)

In Rampo Allo, special long tents from bamboo are made for guests coming. Every guest will be sitting in a tent that belongs to the kampong (village) they are coming from. Guests usually come to the party bringing wine fermented from palm and drink it after lunch. This tradition is an honor for the host who invite them. 

Guests Are Sitting in the Bamboo Tent. They\Are Drinking Wine (Fermented from the Palm).
(Photo Belongs: to Hariyanto)

And for those who have high position in the government or those who have high caste in society called Alang (the nobles) or those who have high position in the chamber of custom and tradition, will be sitting under the barn, the symbol of prosperity.  
Under the Barn, the Place of Prosperity.
(Photo Belongs: to Hariyanto)

How about the families and relatives? They will be sitting in some Tongkonan right in front of the Wedding Dais. Like in the long tents, there was written notice on the paper, telling anybody that a Tongkonan belongs to what family.

Tongkonan, the Traditional House from Tana’Toraja (South Celebes)
 (Photo Belongs to: Wonderful Indonesia)
            After the lunch, guests will come up the dais to congratulate the happy couple and their parents and to take pictures with them.
The party is over, but not the complete processions. There are still two more processions the bride and groom should complete: Dinasuan / dipandanni langngan and Umpasule Barasang.
Dinasuan / dipandanni langngan is a time when the family of the bride (To Untimangan Kapa’) visits the family of the groom (To Umbongsoran Kapa’)in their house. Dinasuan / dipandanni langngan Procession means that the relationship between the two families becomes closer and better now since they have eaten each other’s food.
In this good opportunity, they will take turn reading traditional poems and poetries about how glorious the marriage (Rampanan Kapa') of ancient kings were and people (especially nobles) should learn a good lesson from them.
Next three days, there would be a turn for the groom family to visit the bride and her family at their home (Umpasule Barasang). They bring some food like (rice, cooked pork and snacks made of rice flour/ Kampodang) with them and place the food in the same baskets the groom sent them.  Indeed, the food is for everybody in Umpasule Barasang and after the dining, the groom’s family will go home and leave him in his wife’ house. (He will be living there).
That was all about Rambu Tuka (Rampanan Kapa') Wedding Ceremony. It requires longer time, energy and of course money than other kind of wedding ceremonies in Tana’ Toraja (The Simple Bo’bo’ Bannang Ceremony and the Middle Class Rampo Karoen Ceremony). That is why Rambu Tuka (Rampanan Kapa') is conducted mostly by Tana' Bulaan (the nobles) who are richer than others. That is why those who do not have economical advantage probably would not conduct it.
It is totally impractical with all the processions for some people, but it is worth. The brides and grooms would feel as if they are the real kings and queens during the precious ceremony and would not forget the moment for the rest of their lives. I really hope with this writing and this very good opportunity Toraja Lovely December Event, I could participate in promoting the beauty of Indonesia especially Tana’ Toraja both domestic and international. If it is not us who preserve our own culture, and then who is else?

http://www.mymakassar.com