Jumat, 15 Maret 2013

IBU BILANG MALAM ITU SINGKAWANG BERUBAH JADI METROPOLITAN HONGKONG



Penulis: Eka Novita Damayanti
Awal Januari 2012, saya ikut ibu mudik pulang kampung ke Pontianak, Kalimantan Barat karena ada kerabat kami yang menikah di sana. Sekitar seminggu saya di sana lalu pulang ke Palembang karena alasan kesibukan.
Belum lama saya di rumah. Saya ingat waktu itu malam hari waktu ibu yang masih di kampung karena alasan masih kangen menelepon dan suara beliau yang girang mengatakan malam itu beliau menjadi saksi Singkawang malih rupa menjadi Metropolitan Hongkong. Wah!!!!
Seandainya saya tidak terburu-buru pulang waktu itu, saya juga bisa menyaksikan malam saat kota kecil Singkawang berubah menjadi Metropolitan Hongkong.
♦♦
            Di wilayah Provinsi Kalimantan Barat, selain Ibu Kota Provinsi Pontianak, adalah Singkawang yang masyur dikenal orang luar. Bagi yang belum tahu, Singkawang atau San Keuw Jong atau Shānkǒu Yáng adalah sebuah kotamadya di Kalimantan Barat dengan luas sekitar 504 km2. Jaraknya sekitar 145 km dari Ibukota Propinsi Pontianak atau kurang lebih 4-5 jam perjalanan dengan kendaraan umum (bis).
            Singkawang adalah kota kecil yang multikultur dengan komposisi penduduknya sebagian besar adalah orang Hakka/Khek sekitar 42% dan selebihnya terdiri atas orang Melayu, Dayak, Tio Ciu, Jawa dan pendatang lainnya.
Kedatangan orang Khek ini terjadi dalam gelombang migrasi besar-besaran di tahun 1760 yang dibawa Belanda dari Guangdong China Selatan untuk dipekerjakan sebagai kuli tambang emas dan intan di Monterado.Meskipun secara fisik maupun budaya sebagian dari mereka sudah berasimilasi dengan penduduk lokal Kalimantan Barat, mereka tetap mempertahankan adat istiadat leluhur hingga kini seperti menganut agama Kong Hu Cu dan Buddha sehingga tak heran Kota Singkawang terkenal dengan sebutan Kota Seribu Kelenteng (Vihara) dan keberadaan kelenteng-kelentengnya cantik, membuat suasana Singkawang seperti di China daratan. 
 Keluarga Besar Kami di Depan Sebuah Kelenteng yang Ramai Bertebaran Mempercantik Kota Singkawang (Dokumen: Pribadi)
Untuk mencapai Singkawang tak terlalu sulit. Ada tiga pilihan, yaitu: teman-teman bisa naik bis antar kota yang ongkosnya dari Pontianak sampai Singkawang sekitar Rp 25.000 saja per orang. Tak perlu takut kesasar karena petunjuk perjalanan sudah cukup jelas dan orang-orang Singkawang sangat terbuka terhadap para pendatang.
Pilihan kedua adalah bagi yang ingin praktis. Menyewa mobil berikut supir. Memang sedikit lebih mahal dibanding naik kendaraan umum (bis luar kota) tapi pastinya sebanding dengan santainya teman-teman di perjalanan dan bisa jadi lebih irit juga karena bisa bersama beberapa orang sekaligus sekali berangkat. (Saya tak bisa memastikan berapa harga menyewa mobil ini berikut sopirnya sampai ke luar kota karena pastinya satu rental akan memasang harga yang tak sama dengan rental lainnya. Sebagai ilustrasi, untuk dalam kota Pontianal saja harganya sekitar Rp.350.000).
Pilihan ketiga adalah yang paling diminati (he he!!) Ibu dan rombongan keluarga besar kami beruntung karena mendapat pinjaman mobil dari kantor tempat sepupu saya bekerja (he he, benarkan lebih diminati?). Bisa lebih praktis dan ekonomis karena mengeluarkan uang sekitar Rp. 50.000 saja untuk patungan membeli bensin plus sedikit camilan ringan di perjalanan. Total untuk ongkos tak lebih dari Rp. 100.000 saja perorang.
            Selain masyur dengan vihara-vihara cantiknya, Singkawang juga terkenal dengan kemeriahan perayaan Imlek. Ya, sejak disyahkannya Keppres No. RI No. 6/2000 atas prakarsa Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang mencabut Instruksi Presiden Soeharto Nomor 14 Tahun 1967, saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa bebas, bas, bas, untuk menyelenggarakan hari raya Imlek dan kesempatan ini tentu saja tidak mereka sia-siakan. Di malam pergantian tahun China itu, (tanggal 23 Janurai 2012 malam), rumah-rumah warga Tionghoa di sana, dari yang sangat sederhana, menengah sampai ke rumah mewah, semuanya memasang pernak-pernik hiasan yang serba merah perlambang kebahagiaan dan pastinya waktu yang ditunggu-tunggu saat langit Singkawang ‘merekah’ oleh pesta kembang api. 

Ibu Saya  dan Dua Saudara Kandungnya dengan Latar Belakang Lampion yang Menghiasi Jalanan Kota Singkawang.
(Dokumen: Pribadi)
Saya pernah menyaksikan pesta kembang api yang megah  waktu pembukaan dan penutupan Sea Games di Palembang ini tahun 2011 lalu. Tapi ibu bilang, pesta itu masih kalah jauh dengan pesta kembang api di Singkawang. “Lebih meriah dan lama. Mungkin sekitar 5, 10 menitan. Mungkin lebih. Sahut menyahut dari seluruh penjuru kota.” cerita ibu tentang Singkawang yang meriah laksana Metropolitan Hongkong malam itu.  Dan beliau beruntung sekali bisa menyaksikan semua itu. 

“Wah, yang ini letusannya tak kalah keren ya dari sebelumnya?” Om ku tak berhenti berkomentar.  (Dokumen: Pribadi)
Di tengah benderang cahaya kembang api, ibu menengok ke sekeliling. Jalanan sudah penuh sesak manusia. Besar kecil. Tua muda. Muslim non Muslim. Melayu (sebutan orang Kalimantan buat orang Indonesia) bahkan bulenya juga ada, semua tumplek blek, menikmati malam itu. Semua ikut bergembira ria. Seperti tidak rela melepas pergantian tahun yang indah ini begitu saja.  Karenanya, Dinas Pariwisata Kota Singkawang memasukkan megahnya perayaan imlek ini dala kalender kunjungan wisata unggulan daerahnya.

Meskipun Berjilbab, Kehadiran Keluarga Kami di Tengah Kemeriahan Imlek Tak Dipandang Aneh Karena Semua Manusia Tumplek Blek Malam Itu.
(Dokumen: Pribadi)

Tidak hanya jadi ajang bergembira ria, warga yang merayakan imlek juga bersyukur atas berkah rejeki selama setahun yang mereka lalui. Mereka mendatangi tempat-tempat peribadatan (vihara, kelenteng, dll) seraya memanjatkan doa semoga di tahun mendatang mereka juga mendapatkan rejeki yang semakin berlimpah.

Ibu dan Keponakan Kecil Saya dengan Latar Belakang Umat yang Menghadiri Persembayangan di Sebuah Kelenteng (Dokumen: Pribadi)
Sayang banyak yang salah menafsirkan ini. Menyangka Imlek (Xin Jia) sebagai perayaan hari besar agam Khong Hu Chu.  Padahal, meninjau dari sejarahnya, imlek adalah perayaan yang dilakukan oleh para petani di daratan Tiongkok sana karena diberikan hasil panen yang melimpah pada saat musim  semi setelah kerasnya musim dingin yang mereka lalui. Begitu cerita Ibu Sherly, guru Mandarin saya.
Jadi, apapun agamamu, asalkan teman-teman merasa berdarah warga keturunan China, boleh dan syah merayakan imlek (Xin Jia). Bersyukur  karena rejeki yang teman-teman dapat, bisa disesuai dengan tempat peribadatan agama masing-masing.
Selain bergembira dan bersyukur, perayaan setahun sekali ini diisi dengan berbagai kegiatan yang intinya adalah bersilahturahmi. Saling mengunjungi keluarga karena warga keturunan percaya dibalik kesuksesan seseorang ada orang yang berjasa (orangtua, guru, teman-teman, kerabat, dan lain-lain) kepada orang-orang itulah mereka bersilahturahmi.
Okelah. Mulai tertarik? Pastinya! Sensasi setahun sekali ini memang sayang kalau dilewatkan begitu saja. Saya, salah satu orang yang menyesal tidak bisa langsung menghadirinya (hikkkss!). Seandainya saya mudik lagi, saya pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Apalagi di Singkawang ada keluarga yang bisa saya tumpangi  plus makan gratis juga (he he…) sehingga pengeluaran untuk akomodasi bisa diminimalkan. Itulah untunganya punya keluarga besar. 
Teman-teman tidak punya keluarga di Singkawang? Tenang. Meskipun sebuah kota kecil, Singkawang sudah teroraganisasi dengan baik. Aman dan bersahabat dengan para pendatang baru. Bahkan yang belum berpengalaman ke sana sama sekali. Ada banyak penginapan di sana mulai dari yang murah merian sampai yang mahal. Berikut saya rekomendasikan tiga di antara yang banyak itu sebagai pertimbangan teman-teman.
Yang pertama adalah Mahkota Hotel (Bintang 3) di Jalan Diponegoro no 1 Singkawang. Harga yang ditawarkan mulai Rp 329.000, kemudian ada Palapa Beach Hotel di daerah wisata Pasir Panjang Singkawang dengang kisaran harga sekitar 349.000. Hotel yang sangat direkomendasikan buat teman-teman yang menyukai suasana pantai. Masih ada Hotel Khatulistiwa di Jalan Diponegoro 25 Singkawang dengan harga sekitar Rp. 412.000-an dan masih banyak lagi pilihan lainnya di sini. Pastikan teman-teman melakukan reservasi dulu ya sebelum berangkat untuk menjamin ketersediaan kamar. Maklum di kesempatan ramai Imlek ini, tak sedikit orang yang sama ingin ke sana.
Bagaimana dengan makan? Wow, Singkawang terkenal untuk urusan yang satu ini. Bakso Singkawang, adalah yang saya rekomendasikan di urutan pertama. Rasanya sungguh tak mengecewakan. Dulu, waktu masih bekerja di Pemangkat (sekitar 30 km dari Singkawang), bakso Singkawang ini yang pertama saya cari setiap main ke sana. Selain bakso yang bikin ngiler, masih ada tahu Singkawang yang homemade dan aman dikonsumsi karena terbuat dari kedelai alami dan tanpa bahan pengawet. Rasanya boleh diadu. Tak asam seperti tahu-tahu kebanyakan. Masih ada lagi produk turunannya yaitu bubur tahu dan air tahu yang juga enak pastinya. Tapi kemungkinan teman-teman akan sedikit kesulitan mencari makanan di Singkawang pada tahun baru Imlek begini. Tak lain karena banyak restoran dan rumah makan tutup di hari pertama sampai dengan hari ke empat kira-kira, karena pemiliknya merayakan imlek. Pilihan yang tersisa adalah makan di hotel atau di rumah makan milik orang-orang Melayu. Tapi seorang teman pernah cerita ada saja satu dua rumah makan, restoran ataupun toko yang buka meski di tahun baru seperti itu. Bagi mereka yang berkomitmen buka seperti ini, konsekuensinya adalah mereka ‘harus’ tetap buka selamanya dari hari pertama imlek sampai terakhir nanti. Ada lagi nih. Banyak rumah makan halal, tapi teman-teman muslim, tak ada salahnya sedikit berhati-hati memilih di mana akan makan di Singkawang ini.
Begitu sedikit  cerita tentang perayaan tahun baru Imlek, Shin Chia atau Xin Nian yang penuh makna. Perayaan kebudayaan yang telah lama ‘dikebiri’ oleh pemerintah orde baru untuk alasan yang tidak jelas. Berwisata ke sini teman-teman akan mendapat ‘paket lengkap’. Tak sekedar bersenang-senang, tapi juga belajar budaya serta menghormati dan mencintai perbedaan. Ibarat kata, untuk membuat sebuah resep kue saja dibutuhkan bahan-bahan yang beragam. Apalagi untuk membangun bangsa sebesar ini.
♦♦
Informasi Tambahan:
  1. Versi lain dari Perayaan Imlek ini adalah rasa syukur penduduk karena terbebas dari gangguan dan ancaman Nian (baca: Nien) seekor mahluk jahat yang turun gunung satu tahun sekali untuk memangsa apa saja yang dilihatnya termasuk manusia. Guna menghindari ancaman Nian, penduduk memasang kain, pernak-pernik hiasan, sampai memakai baju berwarna merah karena Nian si mahluk jahat itu sangat takut melihat warna itu. Selain itu, mereka juga membunyikan bunyi-bunyian keras termasuk petasan karena si Nian juga tak suka itu. Dari cerita inilah kiranya orang-orang selalu memakai baju merah dan memasang ornament serba merah dan membunyikan bunyi-bunyian keras pada tahun baru China ini.
  2. Yang tak bisa dilepaskan dari Tahun Baru China atau Imlek atau Xian Nian ini adalah falsafah hidup warga keturunan yang pekerja keras dan hemat (kabarnya bahkan cenderung pelit, mohon maaf sebesarnya kalau saya salah), namun di perayaan tahun baru, mereka justru menghabiskan sebagian besar uang yang mereka kumpulkan selama ini sebagai tanda bersyukur atas rejeki yang diberikan Tuhan. Salah satunya adalah dengan membeli kembang api ini. Mereka tak ragu sedikitpun untuk keluar uang betapapun besarnya.
  3. Puncak perayaan adalah arak-arakan Cap Go Meh keliling kota pada hari kelima belas. Seperti Imlek, Cap Go Meh di Singkawang juga sama menariknya dan sayang kalau dilewatkan.