konten event
Toraja Lovely December
Penulis: Eka Novita Damayanti
Mendengar nama Tana Toraja disebut orang, pikiran saya, mungkin juga pikiran sebagian besar orang akan ‘digiring’ kepada pada kuburan batu di tebing-tebing yang tinggi, kepada Rambu Solo atau upacara pemakaman secara adat Tana Toraja yang kondang itu dimana keluarga almarhum membuat sebuah upacara sebagai tanda penghormatan terakhir bagi saudara mereka yang telah meninggal dunia atau kepada tongkonan, rumah adat suku Tana Toraja yang bentuknya menyerupai tanduk kerbau itu. Ternyata saya keliru. Kebudayaan Tana Toraja yang sarat adat istidat jauh lebih beragam dari semua yang saya bayangkan. Begitu yang saya tahu dari Acok, teman saya.
Penulis: Eka Novita Damayanti
Mendengar nama Tana Toraja disebut orang, pikiran saya, mungkin juga pikiran sebagian besar orang akan ‘digiring’ kepada pada kuburan batu di tebing-tebing yang tinggi, kepada Rambu Solo atau upacara pemakaman secara adat Tana Toraja yang kondang itu dimana keluarga almarhum membuat sebuah upacara sebagai tanda penghormatan terakhir bagi saudara mereka yang telah meninggal dunia atau kepada tongkonan, rumah adat suku Tana Toraja yang bentuknya menyerupai tanduk kerbau itu. Ternyata saya keliru. Kebudayaan Tana Toraja yang sarat adat istidat jauh lebih beragam dari semua yang saya bayangkan. Begitu yang saya tahu dari Acok, teman saya.
“Pernah
mendengar Rambu Tuka atau Rampanan Kapa?” tanyanya. Pertanyaannya saya jawab dengan
gelengan. Seumur-umur baru kali ini saya mendengar orang menyebutnya. Acok menjelaskan
bahwa Rambu Tuka atau Rampanan Kapa adalah pesta pernikahan adat Tana Toraja, kampung
halamannya, yang sama uniknya dengan kesenian-kesenian lain dari daerah itu
yang sudah lebih dikenal orang semacam Rambu
Solo, kuburan batu dan tongkonan. Disebut
unik, karena beberapa hal tentang pesta pernikahan itu hanya ada di sama dan
tak dijumpai di tempat lain.
Keunikan pertama adalah pasangan
pengantin di Tana Toraja disyahkan tidak oleh pemuka agama seperti di kebanyakan
daerah, tapi oleh ketua adat atau Ada’
yang sangat dihormati di sana. Perkawinan di Tana Toraja adalah adanya persetujuan yang
disyahkan dengan suatu perjanjian dihadapan pemerintah adat dan seluruh
keluarga. Mengikuti perjanjian ini, ada peraturan dan hukum-hukum sebagai
sangsi dalam perkawinan.
“Namun
di jaman sekarang, banyak pasangan yang mengkombinasikan keduanya. Tetap
melaksanakan pesta pernikahan secara adat setelah mengikuti pemberkatan pernikahan
di gereja.” kata Acok.
Saya
semakin tertarik dengan cerita Acok tentang Rambu Tuka atau Rampanan Kapa ini. Dengan semangat Acok yang baru seminggu lalu pulang
kampung untuk menghadiri pernikahan sepupu jauhnya ini menjelaskan ada tiga
macam pernikahan adat di sana. Yang pertama adalah Bo’bo’ Bannang atau pesta pernikahan yang dilakukan pada malam hari dengan cara sederhana atau biasa-biasa
saja. Dihadiri beberapa undangan dan dua atau tiga orang laki-laki dari pihak
mempelai lelaki sebagai pengantar sekaligus sebagai saksi dalam pernikahan itu.
Namanya juga pesta yang sederhana, para tamu dijamu dengan lauk pauk sederhana juga
seperti ikan dan satu dua ekor ayam.
Selanjutnya adalah Rampo Karoen atu pesta
pernikahan ala kelas menengah atau orang-orang yang lebih mampu secara ekonomi
di Tana Toraja. Pada perkawinan yang dilaksanakan pada sore hari ini,
dibacakan sedikit pantun-pantun perkawinan. Malam harinya yaitu pada saat
menjelang jamuan makan, wakil-wakil kedua belah pihak, pengantin lelaki maupun
perempuan mendengarkan ketentuan-ketentuan adat atau Tana pihak mempelai perempuan.
Yang
terakhir adalah Rampo Allo, pernikahan yang tertinggi staratanya menurut adat Toraja. Biasanya
pelaksanaan Rampo Allo jauh lebih lama dibanding dua pernikahan
sebelumnya. Jamuannya adalah babi dan ayam yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Baru hari itu aku tahu, sahabatku si Acok ini ternyata punya
darah biru juga. Begitu yang aku simpulkan dari ceritanya yang lebih banyak
membahas pernikahan ala Rampo Allo ini. Waktu aku
tanyakan itu padaya, dengan wajah tersipu dia membenarkan itu.
Berlanjut dengan prosesi pra pernikahan Rampo Allo keluarganya,
Acok bilang sempat ‘ditodong’ oleh keluarga besar di sana sebagai salah satu
utusan Palingka Kada ke rumah calon istri sepupunya itu. Mau
menolak, dirinya tak enak hati, apalagi moment ini hanya sekali seumur
hidup dan saat seluruh keluarga besarnya berkumpul.
Palingka Kada
dilakukan oleh para utusan pengantin laki-laki sebelum pernikahan diselenggarakan
yang tujuannya untuk berkenalan.
Seperti prosesi pra pernikahan daerah-daerah lain di Indonesia, perkenalan dua
keluarga, keluarga lelaki dan wanita ini
dirasakan perlu karena pernikahan pada dasarnya tidak hanya menyatukan dua
insan saja, tapi juga menyatukan dua keluarga besar dan ini yang terpenting. Selain
berkenalan. kesempatan
ini juga digunakan para utusan calon mempelai pria untuk menggali informasi
sebanyak mungkin tentang calon mempelai wanita. Terutama apakah yang
bersangkutan masih lajang atau sudah ada ikatan dengan orang lain atau malahan
sudah menjadi istri orang. Setelah yakin
bahwa si wanita memang benar melajang, maka disampaikanlah maksud kedatangan
mereka yaitu adanya niatan baik untuk melamar si wanita untuk saudara mereka
(calon mempelai laki-laki). Bila tanggapan baik yang diterima, maka prosesi pra
pernikahan ala Rampo Allo ini bisa
dilanjutkan ke tahapan kedua yaitu Umbaa Pangngan yang
artinya mengatur dan mengantar sirih pinangan.
Umbaa Pangngan dilakukan dengan
mengutus beberapa lelaki dan wanita ke rumah calon mempelai wanita dengan membawa
sirih pinangan yang ditempatkan dalam suatu wadah khusus yaitu Solong (pelepah
pinang). Hantaran ini langsung disampaikan pada ibu atau nenek dari sang
perempuan. Adapun penyerahan Solong ini bukan sekali, tapi tiga kali
berturut-turut dengan utusan yang berbeda-beda setiap kali pengantaran.
Penyerahan pertama dilakukan oleh tiga orang wanita dan seorang lelaki dari
pihak calon mempelai pria sebagai pernyataan resmi melamar. Selanjutnya
utusan dari pihak lelaki akan datang lagi sebanyak delapan orang sebagai
pernyataan menunggu jawaban pinangan yang sudah diajukan. Terakhir pengutusan
dalam Umbaa Pangngan berlanjut dengan mengirim dua belas orang
dari pihak mempelai pria sebagai tanda bahwa lamaran yang sudah diterima
dan utusan datang lagi atas nama keluarga untuk membicarakan waktu dan tanggal
perkawinan.
Berikutnya dalam prosesi pra pernikahan Rampo Allo ada Urrampan
Kapa’ yang artinya keluarga laki-laki dan wanita membicarakan Tana’ perkawinan yaitu menentukan
besarnya hukuman yang akan dijatuhkan kepada kedua calon mempelai apabila kelak
setelah menikah melakukan perbuatan yang melanggar komitmen berumah tangga.
Jadi semacam perjanjian pre wedding
lah. Agak ketat mungkin, tapi perjanjian
atau Kapa’ ini ujung-ujungnya melindungi kedua pihak juga. Ini keunikan lain yang
saya catat dari cerita Acok tentang kebudayaan Tana Toraja. Jadi, bukan hanya
orang-orang Barat saja dengan peradaban modern mereka saja ya yang punya
perjanjian sebelum menikahm Suku Tana Toraja pun demikian. Bahkan sejak lama
pula.
Selanjutnya adalah hari yang ditunggu-tunggu, hari H pernikahan. Pasangan
pengantin berjalan ke areal resepsi (sesudah pemberkatan pernikahan di gereja) dengan
dikawal sekawanan lelaki berbaju prajurit adat Toraja dan bertombak. Saya
nyaris tak mengenali ada sahabat saya Acok dalam barisan anak-anak muda itu.
Penampilannya dalam balutan baju adat sungguh membuat pangling. Sayang, karena
alasan pribadi yang tak terlalu jelas, Acok temanku yang pemalu ini tak
bersedia koleksi photo-photonya aku copy apalagi sebarkan dalam
tulisanku ini. Jadilah saya mencamtumkan photo-photo dari mengunduh dari mesin pencari di
dunia maya. (Terimakasih banyak kepada Hariyantowijoyo, website Wonderful Indonesia atas
koleksi photo-photonya dan website http://www.mymakassar.com atas inspirasi
yang membuat saya menulis tentang Rambu Tuka ini).
Barisan Prajurit Berbaju Adat yang Mengawal Iring-Iringan Pengantin
Tana Toraja (Photo Milik: Hariyanto)
Dalam perjalanan
ke tempat resepsi, baik barisan prajurit maupun barisan pagar ayu,
masing-masing melakukan sebuah atraksi. Para prajurit memperagakan semacam
tarian perang dan
Setelah
barisan prajurit, selanjutnya barisan pagar ayu yang bertaraksi. Mereka menari
diiringi aluan music seraya memegang bokor. Mereka berdiri persis di depan
barisan pembawa mas kawin (bisa uang atau barang-barang yang sudah ditentukan).
Sama seperti para prajurit adat, para gadis cantik ini juga berbaju adat yaitu
baju kandore . Tarian yang biasanya diperagakan
dalam Rambu Tuka’ umumnya adalah tarian Pa’ Gellu, Pa’ Boneballa, Gellu
Tungga’, Ondo Samalele, Pa’Dao Bulan, Pa’Burake, Memanna, Maluya, Pa’Tirra’,
Panimbong dan masih banyak lagi. Sedangkan musik tradisional yang
mengiringinya adalah musik Pa’pompang,
musik Pa’Barrung dan musik Pa’pelle’.
Barisan
Pagar Ayu Berbaju Adat yang Mengawal Iring-Iringan Pengantin Tana Toraja (Photo
Milik: Hariyanto)
Pengantin
Berbaju Adat Tana Toraja (Photo Milik: Hariyanto)
Kata Acok ada semacam ketetapan di sana, bahwa musik dan tari
yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo’ (upacara kematian) tidak boleh (tabu)
ditampilkan pada upacara Rambu Tuka’ (pernikahan). (Ya, iya dong Acok, masak
sedang bersenang-senang disugguhi musik berkabung?)
Setelah
para gadis ini selesai beratraksi, giliran pembawa mas kawin di belakangnya,
baru setelahnya si empunya hajat, sepasang pengantin itu, sepupu si Acok ini. Bersama
dalam rombongan, mereka menuju tempat resepsi pernikahan yang sudah ditentukan.
Selama di perjalanan, musik terus diperdengarkan dan di tempat resepsi
lagi-lagi rombongan disambut oleh atraksi dan juga tarian lagi sampai mereka
naik ke pelaminan.
Melihat satu lagi photo si sepupu Acok, saya
berpikir mungkin ini juga satu keunikan upacara Rambu
Tuka’. Pasangan pengantin dan orangtuanya naik ke
pelaminan yang dibuat tepat di bawah tongkonan
atau rumah adat Toraja yang dihiasi dengan ukiran berwarna hitam, merah dan
kuning. Kata Tongkonan sendiri berasal dari bahasa Toraja yaitu Tongkon
yang berarti duduk. Orang tak akan menemukannya di manapun yang seperti
ini, tapi itupun belum seberapa. Menurut Acok, terkadang di atas tongkonan dan
pelaminan, dipajang berjejer tengkorak manusia aseli yang juga tak akan kita
temukan yang seperti ini di manapun di seluruh dunia. Belakangan saya ketahui
peletakan tengkorak ini bukan tanpa makna karena tengkorak yang diletakkan juga
bukan tengkorak sembarangan tapi tengkorak jasad nenek moyang yang sangat
dihormati dalam tradisi masyarakat Tana Toraja.
Pengantin
Adat Toraja Bersanding di Pelaminan di Bawah Tongkon
(Photo
Milik: Hariyanto)
Tengkorak
Aseli Nenek Moyang di Atas Rumah Adat Tongkon Tana Toraja ( Photo
Milik: Hariyanto)
Tengkorak
Aseli Nenek Moyang di Atas Rumah Adat Tongkon Tana Toraja (Photo
Milik: Hariyanto)
Dalam pernikahan Rampo Allo, para undangan
dibuatkan pondok dari bambu yang memanjang, dan di sesuaikan dengan asal
kampung mereka.
Para Undangan Duduk di Pondok Bambu Sambil
Menikamati Tuak Sebagai Penghormatan Terhadap Tuan Rumah (Photo
Milik: Hariyanto)
Undangan lain yang
memiliki posisi tinggi di pemerintahan atau memiliki kedudukan dalam Dewan Adat
atau berdarah bangsawanan, alang tempat duduknya tepat di bawah
lumbung, yang merupakan tempat kehormatan.
Di Bawah
Lumbung. Tempat Berkumpulannya Tamu-Tamu Kehormatan
Photo
Milik: Hariyanto
Sedangkan pihak
keluarga berkumpul di tongkonan yang
berderet tepat di depan pelaminan dengan setiap tongkonan diberi kertas besar bertuliskan nama
keluarga masing-masing.
Tongkonan. Rumah Adat
Tana Toraja
(Photo Milik: Wonderful
Indonesia)
Para undangan, biasanya datang membawa jerigen
berisi tuak, yang digunakan sebagai minuman pengganti air putih usai santap
siang. Hal ini merupakan tradisi masyarakat Toraja, sebagai penghormatan
terhadap tuan rumah.
Seperti layaknya pesta-pesta pernikahan di
tempat lain, puncak pernikahan adalah seluruh undangan menyalami pasangan
pengantin baru dan keluarganya plus dokumentasi sebagai kenang-kenangan tak
terlupakan seumur hidup, tapi prosesi sesungguhnya ternyata belum berakhir. Lho
kok bisa? Ya, masih ada dua lagi prosesi tersisa setelah pesta yang juga tak
kalah pentingnya yaitu Dinasuan
/ dipandanni langngan dan Umpasule
Barasang.
Dinasuan / dipandanni langngan adalah bertemunya lagi wakil dari
laki-laki atau To Umbongsoran Kapa’ dan wakil dari
perempuan atau To Untimangan Kapa’ setelah pesta pernikahan di rumah keluarga
mempelai laki-laki. Dinasuan / dipandanni langngan ini menandakan
hubungan keluarga keduanya yang sudah semakin akrab karena sudah saling makan
makanan dari rumah keduanya. Dalam pertemuan itu kedua pihak saling melantunkan
syair dan pantun perkawinan dan mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan
atau Rampanan Kapa' raja-raja dahulu
kala yang harus menjadi contoh kepada manusia-manusia yang berasal dari kasta
bangsawan.
Sesudah tiga hari, giliran pihak keluarga pengantin laki-laki
yang melakukan kunjungan balasan ke rumah wanita untuk mengakhiri keseluruhan
prosesi perkawinan atau Umpasule Barasang. Bakul berisi makanan
yang pernah dikirim oleh wakil perempuan ke rumah laki-laki, kini dikembalikan
ke rumah perempuan lagi dengan diisi makanan yaitu nasi dan daging babi serta
beberapa bentuk kiasan yang menyerupai anak babi, kerbau, ayam, dll yang dibuat
dari tepung beras yang dinamakan Kampodang. Hantaran tersebut
setibanya di rumah perempuan akan dimakan pula bersama sekeluarga besar,
dan sesudah makan bersama, keluarga pihak laki-laki pulang ke rumah mereka
meninggalkan si pengantin laki-laki untuk menetap di rumah perempuan/orang tua
perempuan.
Demikian kurang dan lebihnya prosesi pernikahan Rambu Tuka atau Rampanan Kapa' adat Tana Toraja versi Rampo
Allo yang makan waktu lebih lama dibanding pernikahan dalam tingkatan yang
lainnya (Pernikahan Bo’bo’ Bannang yang sederhana dan Pernikahan Rampo
Karoen yang menengah). Pernikahan yang demikian itu umumnya
dilakukan oleh keluarga Tana' Bulaan
yang berkesanggupan secara ekonomi dan sangat jarang dilakukan oleh Tana’ Tana’
yang lainnya. Sedikit
merepotkan memang karena begitu banyak dan njelimet nya prosesi yang
harus dilalui dan juga banyaknya biaya. tapi itulah kelebihannya. Pasangangan
pengantin benar-benar merasa menjadi raja dan ratu sehari.
Saya
sangat berharap dengan tulisan saya ini dan dengan Event Toraja Lovely December yang
sangat bagus ini, saya dapat
berpartisipasi mempromosikan keindahan budaya Indonesia khususnya Tana’ Toraja baik
di dalam maupun luar negeri. Lagi
pula bila bukan kaum muda penerus bangsa ini yang melestarikan adat budaya
sendiri, siapakah lagi yang akan melestarikannya?
http://www.mymakassar.com
http://www.mymakassar.com
terimakasih sudah berkenan menghadirkan koleksi pribadi foto-foto pesta pernikahan adat toraja di blog ini..., sekedar saran, kalau bisa selain nama, tampilkan juga link ke BlogS Of Hariyanto...,
BalasHapussalam sukses selalu dari Makassar :-)
mantap referensinya...
BalasHapus