DILEMA ROKOK
http://annida-online.com/artikel-5041-dilema-rokok-.html
Oleh: Eka Novita Damyanti
Asap putih mengepul. Lelaki tua itu
menarik napas. Dalam. Matanya terpejam dalam kenikmatan yang mungkin hanya
dirinya sendiri yang bisa menjelaskan.
“Sudah
setengah hari ini aku manahannya!” Itu mungkin yang bisa diartikan dari bahasa tubuhnya
yang sejak belia sudah sangat kecanduan. Padahal tak sampai satu jam lalu istri
dan Mar, anaknya terhuyung-huyung membopong tubuh ringkihnya ke dokter karena
sudah dua hari ini dadanya yang tipis setipis papan cuci itu sakit. Dokter pun
mengultimatum lelaki itu benar-benar harus berhenti dari kebiasaan buruknya
jika memang ingin benar-benar sembuh. Apakah ampuh? Tidak juga. Begitu dirasakannya
dadanya sedikit lega, lelaki tua ini kembali meraih bungkusan rokok merk kesayangan
dan menikmati setiap hembusan nikotinnya penuh takzim. Sementara di hadapannya,
berserakan obat-obat yang bahkan masih belum lagi dimakannya.
Lelaki
tua itu terbatuk-batuk. Tapi tetap, rokok itu tak dilepaskan dari bibirnya yang
biru terpanggang.
Sebenarnya dengan uang pensiun yang
dua setengah juta rupiah setiap bulannya, dia bisa menghidupi istri dan anak
bungsunya yang kelas tiga SMA itu. Dalam artian tak harus sampai
berhutang-hutang seperti sekarang. Tidak juga harus meminta-minta bantuan pada
anak-anaknya yang bukan tak mau membantu kesulitan orangtua, tapi sebagai
pegawai rendahan penghasilan mereka sering kali juga tak cukup. Tak juga sampai
membuat istrinya banting tulang. Mati-matian bekerja untuk tambah-tambah uang
belanja. Bangun lebih awal dari kokok ayam jantan setiap hari mempersiapkan
kue-kue jajanan pasar yang akan dibawanya berkeliling kampung.
Bapaknya mungkin tak sadar atau tak
mau tahu tingkah lakunya diperhatikan Mar dan ibunya sejak tadi.
“Sepertinya percuma saja Mak kita
bawa Bapak berobat.” Mar bersungut-sungut melihat tingkah Bapaknya sambil
tangannya terus menekuni baju yang sedang digosok, salah satu cara Mak lainnya
untuk menambah uang belanja keluarga.
Dulu, sewaktu lebih muda, Mak pernah
bekerja dipabrik kayu sebelum akhirnya pemerintah membatasi penebangan dengan
ketat dan pabrik yang menjadi andalan keluarga mereka mencari nafkah
perlahan-lahan kolaps dan memutuskan hungungan kerja secara besar-besaran
karena tak kuasa lagi beroperasi.
“Percuma saja kita buang-buang uang
banyak kalau Bapak sendiri tak ada keinginan sama sekali untuk sembuh.”
“Hush!! Jangan bicara seperti itu
pada Bapakmu!” Mak mengingatkan. Betapapun Mak merasa anaknya benar, tetap
dirinya tak ingin Mar bicara seperti itu pada bapaknya.
Tetap dengan tangannya menggosok sebuah
kemeja, Mar bertanya pada Mak, “Itu apa Mak?”
Mak
seperti tak mendengar. Wanita paruh baya itu menjawab pertanyaan Mar dengan bercerita
keadaan Putri, cucu pertamanya yang tinggal di Jakarta dan katanya sudah kelas
dua sekolah dasar sekarang.
Mar sabar menyimak cerita Mak sampai
selesai. Sejak kecil Mak selalu mengajarkan untuk tidak memotong bicara orang
lain terlebih orang yang lebih tua umurnya. Maka begitu cerita Mak selesai,
kembali Mar bertanya, “Bungkusan itu apa Mak isinya?”
Mak menghela napas panjang. Semula
dirinya ingin merahasiakan dulu dari Mar rencana ini, karena tahu anak
bungsunya itu pasti tak akan setuju. Tapi sepertinya percuma saja
menyembunyikannya. Toh anak itu cepat atau lambat pasti akan tahu juga.
“Mak?” Mar memunggu jawaban.
“Itu bungkusan teh, Nak.”
“Sebanyak itu?” Selidik Mar.
Mak melengos. Susah juga punya anak
pintar.
“Ini modal Mak berjualan teh.
Lumayan untuk tambah-tambah nebus obat Bapakmu….”
“Mak!” Mar setengah berteriak dan Mak
kaget. Tak pernah dalam sangkanya dibentak oleh anak sendiri, tapi bukan pula
maksud Mar untuk membentak Mak sebenarnya.
“Mak tak perlulah menambah bekerja lagi!”
Mar kecewa. Mar bicara panjang lebar tentang ketidaksetujuannya pada rencana
Mak berjualan teh berkeliling pasar setiap pagi. Tapi menurut Mak teman-temannya
yang sudah lebih dulu melakoni pekerjaan ini penghasilannya cukup lumayan. Segelas
the bisa dihargai dua ribu lima ratus sampai tiga ribu.
“Hasilnya cukup lumayan Nak, bisa……”
Mak mencoba membujuk.
“Apa Mak pikir aku akan setega itu
membiarkan Mak melakukannya? Apa kata orang nanti? Aku enak-enakan di rumah
sementara Mak…..”
“Lalu apa mau Mar? Kita biarkan saja
Bapak sakit? Begitu?”
Mar kesal. Mak yang dibelanya malah
membela Bapak.
“Sebenarnya ada cara terampuh dan
itu cuma Bapak sendiri yang bisa melakukannya.”
Mak diam. Anaknya benar. Tapi itu
seperti mengharap bulan jatuh dari langit. Mengharap Bapak berhenti merokok
ibarat mengharap kejatuhan bulan. Lihatlah dia sekarang, bahkan dalam keadaan
sakit seperti inipun masih tetap dihisapnya benda beracun itu. Sesaat kemudian
perempuan paruh baya itu terkesiap oleh pintu kamar yang dibanting. Hari begitu
terik dan jelas yang tadi itu bukan karena angin.
“Pokoknya
kalau Mak nekad dagang teh, Mar juga nekad ‘jualan’!!!” teriak Mar dari dalam
kamarnya.
Mak mengelus dada. Istiqfar. Seburuk
apapun keadaan mereka, tak makan sekalipun, jangan sampai mereka menjual harga
diri.
Pagi ini Mar bangun dengan kepala
pening akibat berpikir keras semalaman dan perasaan sesal yang mendalam karena
telah mengatakan perkataan keji pada Mak sendiri. Keputusannya tetap. Apapun yang
terjadi, Mak tak boleh berjualan teh manis keliling pasar. Kalau ada yang harus
bekerja, itu adalah dirinya, tapi siapa pula yang mau menerima bekerja orang
yang bahkan belum lulus sekolah lanjutan atas?
Menjelang pagi matanya bertumpu pada
sebuah benda yang sejak semalam teronggok di atas meja. Kenapa tak terpikirkan
sejak tadi? Pikir Mar senang. Benda ini satu-satunya yang berharga yang dia
miliki. Didapatnya dari Mbak Endang dulu waktu baru pulang bekerja dari Arab
Saudi. Waktu itu uangnya masih banyak dan Mar kecipratan rejeki, dihadiahi
laptop berlayar 14 inchi ini yang sudah sekian lama dia idam-idamkan.
Diraihnya tas komputer jijing itu,
sekaligus juga chargernya. Seorang temannya pasti mau membeli jika ditawari
setengah harga. Memang sudah tak baru
lagi, tapi sepanjang benda ini dia miliki, sepanjang itu juga dia merawatnya
dengan hati-hati. Jadi tak akan mengecewakan. Ya, ini cara paling cepat untuk
mendapatkan uang sehingga Mak tak harus dagang teh seperti rencananya.
Mar tercenung. Perkara menjual
memang mudah, tapi bagaimana selanjutnya? Bagaimana dengan mimpinya menjadi
setenar Andrea Hirata atau Ollie
Salsabeela kalau belum apa-apa saja komputer jinjing ini satu-satunya sarana
untuk mewujudkan mimpi itu harus dijualnya? Seketika itu juga bayangan Emak
yang tersuruk-suruk menenteng dua keranjang penuh berisi termos air panas di
pagi buta berkelebat di matanya. Mar menggeleng. Berusha mengeluarkan bayangan
itu dari kepalanya. Masalah lainnya dipikirkan lain kali saja. Insya Allah
kalau ada rejeki Allah akan member yang jauh lebih baik lagi.
“Kapan berangkat Pak??” Seorang ibu bertanya
tak sabaran. Mulutnya riuh mengeluh sementara tangannya sibuk menggerak-gerakan
secarik kertas mengipasi diri sendiri. Hari masih pagi, tapi udara sudah sepanas
ini.
Hampir
semua penumpang seperti itu. Hampir semua, kecuali Mar. Kesedihan akan berpisah
dengan benda yang akan mengantarkannya ke cita-cita sebagai seorang penulis
terkenal membuatnya mengabaikan panasnya hari. Tapi bau menyengat yang terpatri
kuat di rekaman paling dalam otaknya membuyarkan lamunannya. Hatinya mengumpat.
Ini bau yang menebarkan aroma beracun itu. Bau dari benda yang memaksa dirinya
tersudut tak punya daya tawar seperti ini. Di negeri lain menghisap benda itu
di tempat umum adalah larangan keras. Tapi tidak di sini.
“Oi dek, bau nian rokok kamu nih!!!”
Ibu yang sejak tadi memang paling sering mengeluh, bereaksi. Tangannya lebih sibuk
lagi mengkibas-kibas asap beracun yang menambah sumpek keadaan.
“Oi, Bu, kalau ndak mau kena asap
rokok, naik saja kendaraan pribadi!!!” Balas si anak muda tak mau kalah. Lebih
galak dari si ibu.
Sejatinya Mar juga geram sama
seperti ibu tadi. Orang-orang seperti mereka itu tidak akan mempan dengan
himbauan apapun. Ini persis sama seperti yang selalu terjadi di rumah. Setiap
kali Bapak merokok dan kami serumah sesak napas. Tak peduli bagaimana cara kami
menegur beliau, lembut ataupun sedikit tegas, Bapak bergeming. Tetap di tempatnya
menikmati benda beracun itu. Tak peduli napas kami sudah kembang kempis. Tak
peduli meracuni keponakan-keponakan kecilku yang sering datang ke rumah. Tak
ada pilihan, akhirnya kami yang mengalah. Keluar ruangan sebentar. Sampai Bapak
selesai. Begitu parahnya efek barang laknat itu membentuk mental seorang jadi
egois. Kalau tak sayang akan komputer jinjingnya, satu-satunya benda berharga
yang masih dimiliki dan sekarang terpaksa dijual, mungkin sudah dihantamnya
kepala bocah tengik itu.
“Sudirman. Sudirman.” Teriakan kenek
membuyarkan lamunannya.
“Bagaimana kalau aku tawarkan kau
satu kesempatan bekerja?” tawar Mbak Rieke yang tak tega melihat Mar tak lepas
memeluk laptop 14 inchinya.
Telinga Mar tegak. Satu kata itu
sanggup menceriakan air mukanya. Tapi sebuah pikiran menahannya. Jangan dulu
cepat gembira. Jaman seperti ini, tak ada apaun yang tak berpamrih.
Mbak Rieke membaca itu. Perempuan cantik
itu tertawa. “Tenang…aku tak akan menjerumuskanmu kalau itu yang kau takutkan.”
Mar tersipu. “Bukan begitu Mbak,
hanya aku……”
Mbak Rieke mengambil secarik kertas
dari atas meja, menuliskan sesuatu dan menyerahkannya kepada Mar.
“PT. Sumber Jaya Raya, Distributor.”
Mar membacanya.
“Itu
alamatnya. Manager pemasarannya adalah teman baikku. Katakan saja kau datang
karena rekomendasiku. Mungkin dia bisa menolongmu.” jelas Mbak Rieke yang
pernah beberapa waktu silam bekerja di sana sebelum di tempatnya bekerja
sekarang.
Mar sumringah. Dia bacanya tulisan
di kertas itu berulang-ulang. Tempat ini jelas. Semua orang tahu di mana
letaknya. Sepertinya tak ada sesuatu yang perlu dicurigai. Apalagi ada Mbak
Rieke yang menjamin.
“Kau pikir-pikir saja satu dua hari
ini. Beri tahu aku kalau sudah yakin, jadi aku bisa mengabari orang itu sebelum
kedatanganmu.” Tambah perempuan yang dikenalnya dari seorang teman sekolahnya
itu.
Di perjalanan pulang senyum Mar
mengembang. Tak diperdulikannya orang-orang yang memandang heran. Masalah
pengobatan Bapak bisa segera diatasi tanpa Mak harus tersuruk-suruk di pagi buta
menenteng termos-termos teh dan tanpa di tak harus pula mengkandasakan mimpi
menjadi seorang penulis handal dengan merelakan laptopnya dijual.
“Selamat ya Mar! Bila pekerjaanmu
seperti ini terus, bukan tak mungkin kau akan dipromosikan menjadi pegawai
tetap.” Mbak Rieke yang puas dengan laporan kinerja kerja Mar menyelamatinya
lewat telepon semalam.
Mar diam. Gadis itu tak tahu harus
senang ataukah sedih. Di satu sisi persolaan keluarganya teratasi dengan dia
bekerja sebagai sales promotion girl
di perusahaan distributor rokok itu dan dia tak harus pula menjual laptop 14
inchi yang selama ini menjadi sarananya berusaha meraih mimpi menjadi seorang
penulis handal. Harusnya Mar senang, tapi hatinya justru tersiksa. Tersiksa
mendapati betapa dirinya telah menjadi seorang munafik yang lain kata dengan
perbuatan.
Serombongan anak muda seusianya
melintas. “Ayo kerja.” Senggol Mawar, sejawatnya. Seorang di antara mereka
seperti tak asing lagi di matanya.
Beberapa bulan bergabung dengan
mereka membuat Mar mahfum, yang mereka maksudkan bekerja adalah menawarkan
kepada anak-anak muda itu rokok terbaru andalan mereka yang digadang-gadang
sesuai dengan gaya hidup anak muda yang pemberani dan suka tantangan.
Bah! Tantangan apa? Tantangan
menjadi mati muda barangkali!
“Aku yang ini, kau yang itu.” Mawar
membagi tugas. Gadis semlohai itu pun berlenggak-lenggok sembari menebar senyum
pada orang yang dituju dengan maksud mengundangnya mendekat. Segera setelah
lelaki itu memakan umpannya, dicekokinya dengan berbagai rayuan yang intinya adalah
cepatlah kau beli rokok keluaran baru ini dan aku akan mendapatkan bonus lebih.
Mar masih terpaku saat Mawar
melotot. Mar terkesiap, bukan karena dia takut mata Mawar yang sebesar jengkol,
tapi anak muda yang menjadi tagetnya merayu, benar-benar telah mentahbiskan
harga dirnya yang selalu dia junjung setinggi langit. Anak muda itu, adalah
anak muda yang sama yang ingin dia hempaskan kepalanya dengan komputer jinjing
miliknya beberapa waktu silam karena petantang-petenteng merokok seenaknya dengan
gayanya yang tengil sementara orang lain megap-megap tak bisa bernapas. Ke
sanalah dia harus mempromosikan keluaran rokok terbaru andalan perusahaan.
Mar melangkahkan kaki yang serasa
digandoli gada berpuluh kilogram. Berat, tapi suka atau tidak harus dia
lakukan. Haruskah persoalan keluarganya teratasi dengan mengorbankan orang
lain? Mar mengutuki diri. Hal paling jarang dilakukannya dalam hidup ini. Ya
Allah, ini jauh lebih menyakitkan dari kehawatiran kehilangan laptop tempo hari
itu.
Palembang,
27 Januari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar