Sabtu, 02 Juni 2012

DILEMA ROKOK


DILEMA ROKOK
http://annida-online.com/artikel-5041-dilema-rokok-.html
Oleh: Eka Novita Damyanti
            Asap putih mengepul. Lelaki tua itu menarik napas. Dalam. Matanya terpejam dalam kenikmatan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang bisa menjelaskan.
“Sudah setengah hari ini aku manahannya!” Itu mungkin yang bisa diartikan dari bahasa tubuhnya yang sejak belia sudah sangat kecanduan. Padahal tak sampai satu jam lalu istri dan Mar, anaknya terhuyung-huyung membopong tubuh ringkihnya ke dokter karena sudah dua hari ini dadanya yang tipis setipis papan cuci itu sakit. Dokter pun mengultimatum lelaki itu benar-benar harus berhenti dari kebiasaan buruknya jika memang ingin benar-benar sembuh. Apakah ampuh? Tidak juga. Begitu dirasakannya dadanya sedikit lega, lelaki tua ini kembali meraih bungkusan rokok merk kesayangan dan menikmati setiap hembusan nikotinnya penuh takzim. Sementara di hadapannya, berserakan obat-obat yang bahkan masih belum lagi dimakannya.
Lelaki tua itu terbatuk-batuk. Tapi tetap, rokok itu tak dilepaskan dari bibirnya yang biru terpanggang.
            Sebenarnya dengan uang pensiun yang dua setengah juta rupiah setiap bulannya, dia bisa menghidupi istri dan anak bungsunya yang kelas tiga SMA itu. Dalam artian tak harus sampai berhutang-hutang seperti sekarang. Tidak juga harus meminta-minta bantuan pada anak-anaknya yang bukan tak mau membantu kesulitan orangtua, tapi sebagai pegawai rendahan penghasilan mereka sering kali juga tak cukup. Tak juga sampai membuat istrinya banting tulang. Mati-matian bekerja untuk tambah-tambah uang belanja. Bangun lebih awal dari kokok ayam jantan setiap hari mempersiapkan kue-kue jajanan pasar yang akan dibawanya berkeliling kampung.
            Bapaknya mungkin tak sadar atau tak mau tahu tingkah lakunya diperhatikan Mar dan ibunya sejak tadi.                          
            “Sepertinya percuma saja Mak kita bawa Bapak berobat.” Mar bersungut-sungut melihat tingkah Bapaknya sambil tangannya terus menekuni baju yang sedang digosok, salah satu cara Mak lainnya untuk menambah uang belanja keluarga.
            Dulu, sewaktu lebih muda, Mak pernah bekerja dipabrik kayu sebelum akhirnya pemerintah membatasi penebangan dengan ketat dan pabrik yang menjadi andalan keluarga mereka mencari nafkah perlahan-lahan kolaps dan memutuskan hungungan kerja secara besar-besaran karena tak kuasa lagi beroperasi.
            “Percuma saja kita buang-buang uang banyak kalau Bapak sendiri tak ada keinginan sama sekali untuk sembuh.”
            “Hush!! Jangan bicara seperti itu pada Bapakmu!” Mak mengingatkan. Betapapun Mak merasa anaknya benar, tetap dirinya tak ingin Mar bicara seperti itu pada bapaknya.
            Tetap dengan tangannya menggosok sebuah kemeja, Mar bertanya pada Mak, “Itu apa Mak?”
Mak seperti tak mendengar. Wanita paruh baya itu menjawab pertanyaan Mar dengan bercerita keadaan Putri, cucu pertamanya yang tinggal di Jakarta dan katanya sudah kelas dua sekolah dasar sekarang.
            Mar sabar menyimak cerita Mak sampai selesai. Sejak kecil Mak selalu mengajarkan untuk tidak memotong bicara orang lain terlebih orang yang lebih tua umurnya. Maka begitu cerita Mak selesai, kembali Mar bertanya, “Bungkusan itu apa Mak isinya?”
            Mak menghela napas panjang. Semula dirinya ingin merahasiakan dulu dari Mar rencana ini, karena tahu anak bungsunya itu pasti tak akan setuju. Tapi sepertinya percuma saja menyembunyikannya. Toh anak itu cepat atau lambat pasti akan tahu juga.
            “Mak?” Mar memunggu jawaban.
            “Itu bungkusan teh, Nak.”
            “Sebanyak itu?” Selidik Mar.
            Mak melengos. Susah juga punya anak pintar.
            “Ini modal Mak berjualan teh. Lumayan untuk tambah-tambah nebus obat Bapakmu….”
            “Mak!” Mar setengah berteriak dan Mak kaget. Tak pernah dalam sangkanya dibentak oleh anak sendiri, tapi bukan pula maksud Mar untuk membentak Mak sebenarnya.
            “Mak tak perlulah menambah bekerja lagi!” Mar kecewa. Mar bicara panjang lebar tentang ketidaksetujuannya pada rencana Mak berjualan teh berkeliling pasar setiap pagi. Tapi menurut Mak teman-temannya yang sudah lebih dulu melakoni pekerjaan ini penghasilannya cukup lumayan. Segelas the bisa dihargai dua ribu lima ratus sampai tiga ribu.
            “Hasilnya cukup lumayan Nak, bisa……” Mak mencoba membujuk.
            “Apa Mak pikir aku akan setega itu membiarkan Mak melakukannya? Apa kata orang nanti? Aku enak-enakan di rumah sementara Mak…..”
            “Lalu apa mau Mar? Kita biarkan saja Bapak sakit? Begitu?”
            Mar kesal. Mak yang dibelanya malah membela Bapak.

            “Sebenarnya ada cara terampuh dan itu cuma Bapak sendiri yang bisa melakukannya.”
            Mak diam. Anaknya benar. Tapi itu seperti mengharap bulan jatuh dari langit. Mengharap Bapak berhenti merokok ibarat mengharap kejatuhan bulan. Lihatlah dia sekarang, bahkan dalam keadaan sakit seperti inipun masih tetap dihisapnya benda beracun itu. Sesaat kemudian perempuan paruh baya itu terkesiap oleh pintu kamar yang dibanting. Hari begitu terik dan jelas yang tadi itu bukan karena angin.
            “Pokoknya kalau Mak nekad dagang teh, Mar juga nekad ‘jualan’!!!” teriak Mar dari dalam kamarnya.
            Mak mengelus dada. Istiqfar. Seburuk apapun keadaan mereka, tak makan sekalipun, jangan sampai mereka menjual harga diri.
*       
            Pagi ini Mar bangun dengan kepala pening akibat berpikir keras semalaman dan perasaan sesal yang mendalam karena telah mengatakan perkataan keji pada Mak sendiri. Keputusannya tetap. Apapun yang terjadi, Mak tak boleh berjualan teh manis keliling pasar. Kalau ada yang harus bekerja, itu adalah dirinya, tapi siapa pula yang mau menerima bekerja orang yang bahkan belum lulus sekolah lanjutan atas?
            Menjelang pagi matanya bertumpu pada sebuah benda yang sejak semalam teronggok di atas meja. Kenapa tak terpikirkan sejak tadi? Pikir Mar senang. Benda ini satu-satunya yang berharga yang dia miliki. Didapatnya dari Mbak Endang dulu waktu baru pulang bekerja dari Arab Saudi. Waktu itu uangnya masih banyak dan Mar kecipratan rejeki, dihadiahi laptop berlayar 14 inchi ini yang sudah sekian lama dia idam-idamkan.
            Diraihnya tas komputer jijing itu, sekaligus juga chargernya. Seorang temannya pasti mau membeli jika ditawari setengah harga.  Memang sudah tak baru lagi, tapi sepanjang benda ini dia miliki, sepanjang itu juga dia merawatnya dengan hati-hati. Jadi tak akan mengecewakan. Ya, ini cara paling cepat untuk mendapatkan uang sehingga Mak tak harus dagang teh seperti rencananya.
            Mar tercenung. Perkara menjual memang mudah, tapi bagaimana selanjutnya? Bagaimana dengan mimpinya menjadi setenar Andrea Hirata atau Ollie Salsabeela kalau belum apa-apa saja komputer jinjing ini satu-satunya sarana untuk mewujudkan mimpi itu harus dijualnya? Seketika itu juga bayangan Emak yang tersuruk-suruk menenteng dua keranjang penuh berisi termos air panas di pagi buta berkelebat di matanya. Mar menggeleng. Berusha mengeluarkan bayangan itu dari kepalanya. Masalah lainnya dipikirkan lain kali saja. Insya Allah kalau ada rejeki Allah akan member yang jauh lebih baik lagi.
*       
            “Kapan berangkat Pak??” Seorang ibu bertanya tak sabaran. Mulutnya riuh mengeluh sementara tangannya sibuk menggerak-gerakan secarik kertas mengipasi diri sendiri. Hari masih pagi, tapi udara sudah sepanas ini.
Hampir semua penumpang seperti itu. Hampir semua, kecuali Mar. Kesedihan akan berpisah dengan benda yang akan mengantarkannya ke cita-cita sebagai seorang penulis terkenal membuatnya mengabaikan panasnya hari. Tapi bau menyengat yang terpatri kuat di rekaman paling dalam otaknya membuyarkan lamunannya. Hatinya mengumpat. Ini bau yang menebarkan aroma beracun itu. Bau dari benda yang memaksa dirinya tersudut tak punya daya tawar seperti ini. Di negeri lain menghisap benda itu di tempat umum adalah larangan keras. Tapi tidak di sini.
            “Oi dek, bau nian rokok kamu nih!!!” Ibu yang sejak tadi memang paling sering mengeluh, bereaksi. Tangannya lebih sibuk lagi mengkibas-kibas asap beracun yang menambah sumpek keadaan.
            “Oi, Bu, kalau ndak mau kena asap rokok, naik saja kendaraan pribadi!!!” Balas si anak muda tak mau kalah. Lebih galak dari si ibu.
            Sejatinya Mar juga geram sama seperti ibu tadi. Orang-orang seperti mereka itu tidak akan mempan dengan himbauan apapun. Ini persis sama seperti yang selalu terjadi di rumah. Setiap kali Bapak merokok dan kami serumah sesak napas. Tak peduli bagaimana cara kami menegur beliau, lembut ataupun sedikit tegas, Bapak bergeming. Tetap di tempatnya menikmati benda beracun itu. Tak peduli napas kami sudah kembang kempis. Tak peduli meracuni keponakan-keponakan kecilku yang sering datang ke rumah. Tak ada pilihan, akhirnya kami yang mengalah. Keluar ruangan sebentar. Sampai Bapak selesai. Begitu parahnya efek barang laknat itu membentuk mental seorang jadi egois. Kalau tak sayang akan komputer jinjingnya, satu-satunya benda berharga yang masih dimiliki dan sekarang terpaksa dijual, mungkin sudah dihantamnya kepala bocah tengik itu.
            “Sudirman. Sudirman.” Teriakan kenek membuyarkan lamunannya.
*       
            “Bagaimana kalau aku tawarkan kau satu kesempatan bekerja?” tawar Mbak Rieke yang tak tega melihat Mar tak lepas memeluk laptop 14 inchinya.
            Telinga Mar tegak. Satu kata itu sanggup menceriakan air mukanya. Tapi sebuah pikiran menahannya. Jangan dulu cepat gembira. Jaman seperti ini, tak ada apaun yang tak berpamrih.
            Mbak Rieke membaca itu. Perempuan cantik itu tertawa. “Tenang…aku tak akan menjerumuskanmu kalau itu yang kau takutkan.”
            Mar tersipu. “Bukan begitu Mbak, hanya aku……”
            Mbak Rieke mengambil secarik kertas dari atas meja, menuliskan sesuatu dan menyerahkannya kepada Mar.
            “PT. Sumber Jaya Raya, Distributor.” Mar membacanya.
“Itu alamatnya. Manager pemasarannya adalah teman baikku. Katakan saja kau datang karena rekomendasiku. Mungkin dia bisa menolongmu.” jelas Mbak Rieke yang pernah beberapa waktu silam bekerja di sana sebelum di tempatnya bekerja sekarang.
            Mar sumringah. Dia bacanya tulisan di kertas itu berulang-ulang. Tempat ini jelas. Semua orang tahu di mana letaknya. Sepertinya tak ada sesuatu yang perlu dicurigai. Apalagi ada Mbak Rieke yang menjamin.
            “Kau pikir-pikir saja satu dua hari ini. Beri tahu aku kalau sudah yakin, jadi aku bisa mengabari orang itu sebelum kedatanganmu.” Tambah perempuan yang dikenalnya dari seorang teman sekolahnya itu.
            Di perjalanan pulang senyum Mar mengembang. Tak diperdulikannya orang-orang yang memandang heran. Masalah pengobatan Bapak bisa segera diatasi tanpa Mak harus tersuruk-suruk di pagi buta menenteng termos-termos teh dan tanpa di tak harus pula mengkandasakan mimpi menjadi seorang penulis handal dengan merelakan laptopnya dijual.
*       
            “Selamat ya Mar! Bila pekerjaanmu seperti ini terus, bukan tak mungkin kau akan dipromosikan menjadi pegawai tetap.” Mbak Rieke yang puas dengan laporan kinerja kerja Mar menyelamatinya lewat telepon semalam.
            Mar diam. Gadis itu tak tahu harus senang ataukah sedih. Di satu sisi persolaan keluarganya teratasi dengan dia bekerja sebagai sales promotion girl di perusahaan distributor rokok itu dan dia tak harus pula menjual laptop 14 inchi yang selama ini menjadi sarananya berusaha meraih mimpi menjadi seorang penulis handal. Harusnya Mar senang, tapi hatinya justru tersiksa. Tersiksa mendapati betapa dirinya telah menjadi seorang munafik yang lain kata dengan perbuatan.
            Serombongan anak muda seusianya melintas. “Ayo kerja.” Senggol Mawar, sejawatnya. Seorang di antara mereka seperti tak asing lagi di matanya.
            Beberapa bulan bergabung dengan mereka membuat Mar mahfum, yang mereka maksudkan bekerja adalah menawarkan kepada anak-anak muda itu rokok terbaru andalan mereka yang digadang-gadang sesuai dengan gaya hidup anak muda yang pemberani dan suka tantangan.
            Bah! Tantangan apa? Tantangan menjadi mati muda barangkali!
            “Aku yang ini, kau yang itu.” Mawar membagi tugas. Gadis semlohai itu pun berlenggak-lenggok sembari menebar senyum pada orang yang dituju dengan maksud mengundangnya mendekat. Segera setelah lelaki itu memakan umpannya, dicekokinya dengan berbagai rayuan yang intinya adalah cepatlah kau beli rokok keluaran baru ini dan aku akan mendapatkan bonus lebih.
            Mar masih terpaku saat Mawar melotot. Mar terkesiap, bukan karena dia takut mata Mawar yang sebesar jengkol, tapi anak muda yang menjadi tagetnya merayu, benar-benar telah mentahbiskan harga dirnya yang selalu dia junjung setinggi langit. Anak muda itu, adalah anak muda yang sama yang ingin dia hempaskan kepalanya dengan komputer jinjing miliknya beberapa waktu silam karena petantang-petenteng merokok seenaknya dengan gayanya yang tengil sementara orang lain megap-megap tak bisa bernapas. Ke sanalah dia harus mempromosikan keluaran rokok terbaru andalan perusahaan.
            Mar melangkahkan kaki yang serasa digandoli gada berpuluh kilogram. Berat, tapi suka atau tidak harus dia lakukan. Haruskah persoalan keluarganya teratasi dengan mengorbankan orang lain? Mar mengutuki diri. Hal paling jarang dilakukannya dalam hidup ini. Ya Allah, ini jauh lebih menyakitkan dari kehawatiran kehilangan laptop tempo hari itu.

Palembang, 27 Januari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar