IMLEK SEBAGAI PERAYAAN KEBUDAYAAN
Oleh: Eka Novita Damayanti
Ada beberapa versi sehubungan dengan
imlek yang diperingati oleh saudara-saudara kita di China daratan dan mereka
yang keturunannya diperantauan atau hua
ren di seluruh dunia hari ini. Salah satu di antaranya adalah kisah dari
jaman dahulu kala tentang sesosok mahluk kejam bernama Nian yang turun dari perbukitan ke kampung-kampung setiap satu
tahun sekali untuk makan. Nian ini
sangat rakus dan memangsa apapun yang ditemuinya, termasuk manusia tentunya.
Karena kekejaman Nian ini, seluruh
warga kampung takut dan memutuskan untuk tidak keluar rumah seharian itu.
Sebagai ganti kebutuhan pangan, mereka menyimpan perbekalan secukupnya untuk
melewati satu hari itu.
Suatu ketika Nian si mahluk kejam masuk kampung, dia terkejut teramat sangat
mendapati sebuah rumah yang diterangi pelita dan lari terbirit-birit karenanya.
Dia memilih mancari rumah lain yang tak berpelita dengan harapan mendapat makanan,
tapi alih-alih mendapatkannya, dia kembali terkejut, lari pontang-panting
karena di rumah ini tergantung kain berwarna merah. Nian yang lapar ternyata
belum menyerah, dia kembali masuk kampung, namun naas, baru saja masuk batas
kampung, telinganya mendengar anak-anak membunyikan bunyi-bunyian keras yang membuatnya
kembali terpotang-panting, lari tunggang langgang ke perbukitan tempatnya
bersemayam selama ini dan tak pernah kembali lagi. Maka tahulah warga kampung
tentang kelemahan si nian ini.
Mengantisipasi
Nian turun kampung dan memangsa
warga, orang-orang menghias rumah-rumah mereka dengan segala sesuatu yang
berwarna merah, meyalakan pelita atau penerangan dan membunyikan petasan dan
bunyi-bunyian keras lainnya untuk menghalau si Nian ini. Hal ini dipercaya sebagai cikal bakal segala tradisi
China jelang tahun baru atau Xin Nian.
Versi selanjutnya adalah musim
dingin yang sangat keras di China daratan yang terjadi pada suatu masa. Banyak
orang kekurangan bahan makanan. Tapi memasuki musim semi, keadaan sebaliknya
yang terjadi. Musim semi yang hangat membawa berkah melimpahnya hasil panen
warga dan mensejahterakan mereka. Warga tentu senang dan berterima kasih kepada
Tuhan yang Maha Esa dengan bersembahyang di kelenteng-kelenteng.
Di
sinilah mulai terjadi salah pemahaman itu. Banyak orang luar (termasuk saya
sendiri dulunya), menilai imlek sebagai perayaan agama orang-orang China dan
keturunannya di rantau. Jadilah imlek disamaratakan seperti Lebaran Idul Fitri
bagi orang Islam, Natal bagi umat kristiani dan sebagainya. Padahal menurut
beberapa buku yang saya baca sewaktu kursus privat dulu dan cerita Lao Shi, guru Mandarin saya, Imlek tak
lain adalah perayaan kebudayaan orang-orang di China daratan dan keturunannya
di seluruh dunia karena Tuhan telah memberikan berkah yang berlimpah pada musim
semi itu dan sama sekali bukan perayaan agama seperti yang dipercaya sebagian
besar orang termasuk saya juga dulunya. Cara berterima kasihnya terserah,
tergantung kepercayaan yang dianut masing-masing orang. Karena sebagian besar
orang di China menganut kepercayaan Khong Hu Cu, Tao dan lainnya, maka cara
mereka berterima kasih kepada Tuhan adalah dengan bersembahyang di
kelenteng-kelenteng. Tapi, masih menurut Lao Shi, bila seseorang bukan pemeluk
kepercayaan-kepercayaan tersebut di atas, dia dipersilakan berterima kasih
kepada Yang Maha Pencipta dengan kepercayaannya.
Demikan yang sedikit dari saya. Semoga bermanfaat untuk mempererat jalinan
persaudaraan dengan sesama kita di republik tercinta ini. Selamat Tahun Baru
Imlek bagi saudara-saudaraku sebangsa setanah air yang merayakannya.
Kosa
kata:
Nian: (Bahasa
Mandarin) tahun
Xin Nian: (Bahasa
Mandarin) Tahun Baru
Lao Shi: (Bahasa
Mandarin) guru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar