Kamis, 31 Mei 2012

IMLEK SEBAGAI PERAYAAN KEBUDAYAAN


IMLEK SEBAGAI PERAYAAN KEBUDAYAAN
Oleh: Eka Novita Damayanti
            Ada beberapa versi sehubungan dengan imlek yang diperingati oleh saudara-saudara kita di China daratan dan mereka yang keturunannya diperantauan atau hua ren di seluruh dunia hari ini. Salah satu di antaranya adalah kisah dari jaman dahulu kala tentang sesosok mahluk kejam bernama Nian yang turun dari perbukitan ke kampung-kampung setiap satu tahun sekali untuk makan. Nian ini sangat rakus dan memangsa apapun yang ditemuinya, termasuk manusia tentunya. Karena kekejaman Nian ini, seluruh warga kampung takut dan memutuskan untuk tidak keluar rumah seharian itu. Sebagai ganti kebutuhan pangan, mereka menyimpan perbekalan secukupnya untuk melewati satu hari itu.
            Suatu ketika Nian si mahluk kejam masuk kampung, dia terkejut teramat sangat mendapati sebuah rumah yang diterangi pelita dan lari terbirit-birit karenanya. Dia memilih mancari rumah lain yang tak berpelita dengan harapan mendapat makanan, tapi alih-alih mendapatkannya, dia kembali terkejut, lari pontang-panting karena di rumah ini tergantung kain berwarna merah. Nian yang lapar ternyata belum menyerah, dia kembali masuk kampung, namun naas, baru saja masuk batas kampung, telinganya mendengar anak-anak membunyikan bunyi-bunyian keras yang membuatnya kembali terpotang-panting, lari tunggang langgang ke perbukitan tempatnya bersemayam selama ini dan tak pernah kembali lagi. Maka tahulah warga kampung tentang kelemahan si nian ini.
Mengantisipasi Nian turun kampung dan memangsa warga, orang-orang menghias rumah-rumah mereka dengan segala sesuatu yang berwarna merah, meyalakan pelita atau penerangan dan membunyikan petasan dan bunyi-bunyian keras lainnya untuk menghalau si Nian ini. Hal ini dipercaya sebagai cikal bakal segala tradisi China jelang tahun baru atau Xin Nian.
            Versi selanjutnya adalah musim dingin yang sangat keras di China daratan yang terjadi pada suatu masa. Banyak orang kekurangan bahan makanan. Tapi memasuki musim semi, keadaan sebaliknya yang terjadi. Musim semi yang hangat membawa berkah melimpahnya hasil panen warga dan mensejahterakan mereka. Warga tentu senang dan berterima kasih kepada Tuhan yang Maha Esa dengan bersembahyang di kelenteng-kelenteng.
Di sinilah mulai terjadi salah pemahaman itu. Banyak orang luar (termasuk saya sendiri dulunya), menilai imlek sebagai perayaan agama orang-orang China dan keturunannya di rantau. Jadilah imlek disamaratakan seperti Lebaran Idul Fitri bagi orang Islam, Natal bagi umat kristiani dan sebagainya. Padahal menurut beberapa buku yang saya baca sewaktu kursus privat dulu dan cerita Lao Shi, guru Mandarin saya, Imlek tak lain adalah perayaan kebudayaan orang-orang di China daratan dan keturunannya di seluruh dunia karena Tuhan telah memberikan berkah yang berlimpah pada musim semi itu dan sama sekali bukan perayaan agama seperti yang dipercaya sebagian besar orang termasuk saya juga dulunya. Cara berterima kasihnya terserah, tergantung kepercayaan yang dianut masing-masing orang. Karena sebagian besar orang di China menganut kepercayaan Khong Hu Cu, Tao dan lainnya, maka cara mereka berterima kasih kepada Tuhan adalah dengan bersembahyang di kelenteng-kelenteng. Tapi, masih menurut Lao Shi, bila seseorang bukan pemeluk kepercayaan-kepercayaan tersebut di atas, dia dipersilakan berterima kasih kepada Yang Maha Pencipta dengan kepercayaannya.
            Demikan yang sedikit dari saya.  Semoga bermanfaat untuk mempererat jalinan persaudaraan dengan sesama kita di republik tercinta ini. Selamat Tahun Baru Imlek bagi saudara-saudaraku sebangsa setanah air yang merayakannya.


Kosa kata:
Nian: (Bahasa Mandarin) tahun
Xin Nian: (Bahasa Mandarin) Tahun Baru
Lao Shi: (Bahasa Mandarin) guru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar