KADO
SELIMUT UNTUK NENEK
Oleh:
Eka Novita Damayanti
“Bagaimana?” Nenek tanpa tedeng
aling-aling bertanya waktu aku muncul di ambang pintu kamarnya siang itu.
“Biasalah, Nek.” jawabku bosan
sambil menghempaskan tubuh ini tepat di sebelahnya berbaring. Aku tak ingin
nenek bertanya lebih jauh karena jawaban masih sama saja.
Dengan tenaganya yang ringkih, nenek
bersusah payah duduk. Mengambil suatu posisi agar lebih nyaman berbicang
denganku. Baru mau ku bantu, terlambat, nenek sudah duduk sendiri.
“Biasa bagaimana?” Dari balik kaca
matanya yang setebal pantat botol, mata tuanya yang kelabu akibat katarak akut,
memandang penuh tanya padaku.
“Biasalah Nek, Luh menjalani
serangkaian tes dan wawancara.” “Terus?”
“Terus Luh disuruh menunggu sampai
mereka mengabari lebih lanjut tentang diterima tidaknya Luh bekerja di sana.”
Nenek manggut-manggut. Beliau memang
tak pernah mencicipi bangku sekolah. Sama sekali. Menakjubkan, beliau selalu
nyambung aku ajak bicara tentang masalah apapun, bahkan sampai urun pendapat. Kalau
saja nenek sempat sekolah, aku tak yakin bisa mengalahkan kecerdasannya.
Aku mengeluh panjang pendek. Seperti
biasa. Tentang percuma saja aku bersusah payah nenteng buku dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi,
tentang percuma saja aku nekad mengiyakan ajakan paman dan bibi pindah ke sini
dengan harapan di kota kecil ini aku akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan, tentang
rasa ibaku pada ayah dan ibu yang sudah menggelontorkan banyak uang tak sedikit
untuk biaya pendidikanku kalau akhirnya aku menjadi seperti ini. Tak lebih dari
seorang sarjana pengangguran.
“Padahal yang Luh inginkan nggak
macam-macam, Nek.” Aku melenguhkan napas panjang. Dadaku terasa sesak oleh
beban hidup lama tak mendapat kerja ini.
“Hanya ingin punya penghasilan
sendiri. Sedikit, cukuplah. Apa permintaan Luh itu berlebihan?
Nenek lurus memandangku. Seperti
sedang memikirkan sesuatu. Terpancar jelas di mata tuanya yang kelabu karena
katarak. Tapi nenek menolak waktu aku tanya apa gerangan yang sedang dipikirkannya.
“Luh tenang saja.” Nenek mengelus
rambutku. Tangannya yang keriput tapi sangat halus menyentuh rambutku sayang.
“Jangan pernah Luh putus asa dari
rahmat Allah.” Suara nenek bergetar. Hatiku juga. Semua bilang, dari semua
cucunya, akulah yang paling nenek sayang. Tapi aku tak terlalu merasa demikian.
Aku percaya nenek juga sangat sayang pada cucu-cucu yang lain. Tapi disadari
atau tidak, aku sering putus asa dari rahmat Allah. Merasa akulah orang yang
paling bernasib sial di kolong jagad ini. Lebih sering mengeluh daripada
bersyukur.
“Luh lihat dan teliti, mungkin ada
kesalahan atau sesuatu yang Luh lupakan.”
Aku terlonjak, duduk.
“Maksud Nenek?”
“Mungkin Luh pernah menyakiti
seseorang. Membuat orang lain sakit hati dengan perbuatan atau perkataan Luh.”
Nenek masih membelai rambutku. Wangi kain panjangnya yang seperti bau pandan,
melekat dalam otakku. Membuat aku sanggup mengenali nenek meskipun dalam
keadaan mata tertutup.
“Perrcaya
atau tidak, doa orang teraniyaya itu manjur diijabah Allah.”
Aku angkat kepalaku dari pangkuan
nenek. Termangu. Mengingat-ingat segala sesuatu yang pernah aku katakan atau
ucapkan. Hal-hal yang menyebalkan yang mungkin membuat orang ingin meninjuku misalnya,
kalau tak ingat aku seorang perempuan. Aku tak ingat. Entahlah mungkin saja.
“Lalu Nek?”
“Luh harus minta maaf pada orang
itu. Minta keiklasannya memaafkan Luh.”
Betul juga.
Masih
belum puas, aku tanyakan apa yang nenek maksud dengan sesuatu yang aku lupakan.
Gerangan apa itu sebenarnya. Jawaban nenek di luar dugaanku.
“Setiap orang punya kelebihan dan
kekurangannya masing-masing…. karunia Allah SWT. Orang lain punya, Luh juga
pasti ada.” Getaran semakin kuat di suaranya, kemudian batuk-batuk. Aku
bergegas ke belakang mengambil segelas air minum. Menyesal aku telah memaksanya
banyak bicara. Tapi apa maksud nenek? Apa yang diberikan Tuhan padaku tapi lama
aku sia-sakan? Perlu beberapa hari bagiku untuk membongkar habis isi otakku,
mencari tahu apa yang nenek maksud. Sampai hari ketiga, aku sadar, aku punya
bakat berdagang. Aku senang melakukan itu dan aku termasuk mahir dalam
meyakinkan orang. Merayu mereka membeli barang yang aku tawarkan.
Di mulai dengan merayu-rayu Tante
Dewi, tetangga sebelah rumah paman dan bibi, meyakinkannya aku bisa dipercaya
membawa barang-barang dagangannya. Tak mudah tentu saja, karena tante ini
terlanjur patah arang, banyak dikecewakan orang yang bermulut manis tapi
ujung-ujungnya membuatnya merugi sampai belasan juta rupiah.
“Barang daganganku habis, tapi uang
tak kembali.” keluhnya.
Nenek tampil sebagai palawanku.
Beliau sampai pasang badan, meyakinkan Tante Dewi tak ada yang perlu beliau khawatirkan
karena nenek akan menanggung penuh atas semua kerugian yang mungkin akan aku
timbulkan. Jitu. Tante Dewi yang semula tak percaya, berbalik seratus delapan
puluh derajat, menyetujui permintaanku. Tak tanggung-tanggung, dia langsung
membekali aku dengan enam jenis barang sekaligus sebagai modal awalku bekerja.
Tentu aku senang bukan kepalang. Tak menunggu sampai sepeda motor Tante Dewi
menghilang dari pekarangan, aku peluk nenek sekuat-kuatnya sebagai luapan
kegembiraanku. Sampai nenek megap-megap, kesulitan bernapas. Aku belum tahu
bagaimana ini ke depannya, tapi perasaanku menandakan kemajuan.
“Tapi ingat! Nenek hanya
berpura-pura saja melindungimu.” Nenek memasang wajah galak. Aku tahu
gembiranya melebihi gembiraku atas kesempatan baik ini.
“Kau
tanggung sendiri akibatnya kalau sampai mangkir.”
Alhamdulillah,
semuanya berjalan mulus. Titipan pertama laris manis terjual dan keuntungannya bisa
dibilang tak mengecewakan. Aku ingat senyum Tante Dewi saat pertama aku
serahkan setoran pertama. Dia bilang, dari semua yang bekerja dengannya aku
yang paling cepat menyerahkan setoran dan jumlahnya paling memuaskan pula. Bisa
ditebak, barang kedua, ketiga dan selanjutnya bisa dengan lebih mudah aku bawa.
“Yang penting kejujuran. Itu modalmu
yang utama.” pesan nenek selalu pada aku yang sudah melupakan cita-citaku bekerja
kantoran.
Usaha dagang dengan system kredit
ini tak aku sangaka maju dengan sangat pesat. Hanya satu tahun berselang, perlahan
tapi pasti, usaha kecil-kecilanku ini mulai menampakan hasil. Aku tak sekedar
membawakan barang-barang dagangan Tante Dewi saja, tapi mulai sedikit-sedikit
membawa barang-barang dagangan milikku sendiri. Sedikit kemudian menjadi
bertambah banyak, lalu bertambah banyak lagi. Aku semakin tenggelam dalam keasyikanku
berjualan. Sampai aku hampir lupa bagimana cara menulis sebuah surat lamaran
itu. Aku senang sekali tapi tak merasa puas. Maksudku, aku mulai memikirkan cara
lainnya untuk melebarkan sayap usaha. Bagaimana caranya agar usaha yang aku
jalankan ini menjadi lebih maju lagi. Termasuk
“Bagaimana kalau membuka toko
sendiri?” usul nenek dalam percakapan kami di telepon siang menjelang sore itu. “Itu terlalu mahal, Nek. Mana
cukuplah uang Luh.”
“Kalau begitu buat saja lapak. Tidak
buruk buat pemula.” Saran nenek lagi. Beliau masih tinggal di kota kecil itu bersama
paman dan bibiku, sedangkan aku kembali tinggal bersama kedua orangtuaku karena
aku percaya di kota kami ini, membuka bisnis pasti lebih maju.
Aku menggeleng lagi. Membuat sebuah
lapak juga tak murah. Yang resmi tentu saja. Harus menyewa tempat, kemudian
membangunnya. Itu perlu uang yang tak sedikit.
“Kalau begitu, sewa saja. Menyewa sebuah
lapak yang sudah jadi. Bagaimana kau ini! Begitu saja tidak tahu!!” Sekali lagi
pemikiran nenek yang cemerlang
menggebrak kebuntuanku.
Aku sudah hampir membuka mulutku,
berterima kasih padanya, tapi nenek mendahuluiku. “Sudah cukup di sini saja!”
“Kau
sudah terlalu lama mengganggu waktu tidurku.” pungkasnya kemudian terdengar
bunyi klik di ujung sana.
Aku
bayangkan nenek dengan langkah diseret-seret naik ke pembaringannya dan menyelimuti
tubuhnya yang ringkih dengan selimut tua berwarna hijau botol itu. Peninggalan
mendiang kakek yang seingatku sudah ada sebelum aku di SMP.
Dulu
sewaktu masih di sana, aku lupa memberikan sesuatu kepada nenek sebagai
ungkapan terima kasihku meski aku tahu nenek tak pernah mengharapkan apapun
dariku. Dalam hati aku berjanji, kelak bila impianku mempunyai sebuah toko
pakaian sendiri tercapai, nggak pake lupa dan nggak pula pakai lama, segera aku
kirimkan kepadanya selimut baru yang lebih bagus dan lebih tebal, sehingga
nenek tak akan kedinginan lagi.
****
“Nenekmu sakit keras.” jawab ibu
waktu aku tanya apa yang dibicarakannya dengan Bibi Fat tadi di telepon.
“Sudah seminggu lebih ini.
Komplikasi penyakit tua ditambah sembelit. Itu yang Bibi Fat bilang di
telepon.” tambah ibu yang hapal betul aku tak senang ada orang
mengklasifikasikan penyakit nenek sebagai penyakit tua hanya karena usianya.
Aku tangkap gelisah di mata ibu. Aku
tahu perkara ongkos yang jadi penyebabnya. Bukan sedikit uang yang beliau
perlukan untuk bisa menyambangi nenek yang tinggal bersama keluarga Bibi Fat di
pedalaman Kalimantan sana.
“Mungkin ayahmu saja yang pergi.” kata
ibu. Tapi dari suaranya, aku tahu ibu juga ingin pergi. Kalau hanya ayah ke
sana, setiap orang pasti akan bertanya kenapa ibu sebagai menantu tidak ikut.
“Pergilah Bu. Kalau memang ibu mau
ke sana.”
“Tapi Luh….” Ibu tak meneruskan
kalimatnya. Beliau tahu aku pasti sudah sangat mahfum apa yang akan
dikatakannya selanjutnya.
“Pergilah Bu, kalau ongkos, mungkin
Luh bisa bantu sedikit-sedikit.” Aku membujuk. Meski dalam hati aku juga ingin
pergi, tapi aku sadar, ibu yang lebih berkepentingan.
“Tapi Luh….” Kembali kalimat ibu tak
berkelanjutan. Mungkin yang beliau maksud betapapun semua orang di dalam
keluarga datang, kalau aku sebagai salah seorang cucu kesayangan nenek tak
datang, nenek pasti sangat kehilangan.
“Insya Allah Bu, kalau ada rejeki
lagi, secepatnya Luh menyusul ke sana.”
*****
Hampir seminggu ayah dan ibu di
kampung. Alhamdulillah keadaan nenek mulai membaik. Sembelitnya juga mulai
jarang.
“Tapi Luh, nenek tidak mau makan.” cerita
Ibu padaku di telepon.
“Setiap
hari setiap waktu, selalu kamu yang ditanya nenek.” Tak peduli siapapun yang
datang menjenguk, kalau aku belum datang, nenek masih terus menanyaiku.
Tak
peduli bagaimana cara mereka merawatnya, nenek selalu membanding-bandingkan
dengan caraku merawat beliau yang menurut beliau lebih telaten. Aku tersanjung,
tapi lebih prihatin karena aku tak bisa ke sana pada saat nenek membutuhkan
aku.
“Luh usahakanlah bagaimana caranya
supaya bisa ke sini juga.” pesan ibu sebelum menutup telepon.
Bukan
aku tak mau, ke sana ke sini aku mencari
tiket, tapi setiap biro perjalanan bilang tiket ke kampung kami sudah full booked berkenaan dengan hari
sembahyang kubur etnis Tionghoa. Aku katakana itu pada ibu, suaranya khawatir.
Ibu bilang, mengetahui aku tak bisa datang, kondisi nenek yang membaik, kembali
jatuh sampai ke titik terendah.
“Tidak pernah seperti ini
sebelumnya.” Samar. Timbul tenggelam. Aku dengar tangis ibu yang sekuat tenaga
berusaha dia sembunyikan dariku.
Keesokan harinya aku datangi lagi
agen-agen perjalanan yang aku datangi dua hari lalu. Berharap ada orang yang
batal pergi dan aku bisa menggantikan posisinya. Tak mengapa meski harus
membayar sedikit lebih mahal dari harga normal. Tapi hampir semua biro
perjalanan di kota aku sambangi, jawabannya sama dan tak bisa ditawar lagi.
Tiket pesawat sudah full booked
sampai seminggu ke depan.
Tengah malam, aku terbangun,
tesandung, tersuruk-suruk, meyambut telepon yang bordering-dering. Aku angkat,
ternyata ibu di seberang sana. Ibu menangis, Tersedu sedan dan kali ini beliau
tak berusaha menutupinya dari aku. Saat dikatakannya, badanku luruh lunglai
terkulai di lantai. Nenek tutup usia setengah jam yang lalu.
*****
Tak terasa, genap setahun sudah
nenek tutup usia. Sejak kemarin, ibu sibuk menyiap segala sesuatu untuk
pengajian memperingati setahun wafatnya nenek.
Aku katakan pada ibu, belakangan ini
beberapa kali aku bertemu nenek dalam mimpi.
“Mungkin nenek marah ya Bu, Luh tak
datang waktu nenek sakit keras.” kataku menyesal. Sampai sekarang tak habis
rasa menyesalku.
Ibu menggeleng keras. Sebagai
menantu, ibu hapal betul bagaimana mertuanya itu.
“Tidak, mana mungkin orang yang
sudah berlainan alam dengan kita marah pada Luh.” jawab ibu sambil mengelap
piring-piring.
“Mungkin Luh sendiri yang merasa
bersalah.”
“Bersalah?”
“Pernah buat nenek kesal nggak tapi
tak sempat minta maaf? Atau pernah diam-diam berjanji mau melakukan sesuatu
buat nenek tapi juga tak sempat karena nenek keburu tutup usia?” Ibu
melanjutkan dengan mengelap gelas-gelas sekarang.
Aku tersentak. Bagaimana aku bisa sampai
lupa? Mungkin ini yang menyebabkan nenek selalu mendatangiku di mimpi. Aku
katakan itu pada ibu, beliau tertawa dan menggeleng-geleng.
“Luh, Luh, itu tambah tidak mungkin!
Sebuah selimut?” Ibu senyum-senyum. Ibu bilang, tidak mungkin orang yang sudah
meninggal dunia menagih janji. Orang yang sudah meninggal dunia tak perlu
apapun dari dunai ini kecual doa tulus kita supaya mereka di alam sana.
“Mungkin Luh sering lupa mengirimi
nenek doa.” ibu yang sudah selesai dengan mengelap piring-piring itu.
Benar juga. Selama aku sibuk dengan
pekerjaanku, selama itu juga sholat yang aku lakukan asal lalu saja. Asal
menggugurkan kewajiban. Tak jarang, selesai sholat aku terburu-buru melanjutkan
pekerjaanku, lupa berdoa. Aku dimabuk kesibukan sampai lupa semua yang aku
miliki sekarang dari Dia yang Maha Pemberi.
Malam ini, pertama dari sekian malam
yang berlalu, aku kembali larut dalam untaian ayat-ayat suci. Berulang kali ibu
memanggilku dari ambang pintu, berkali juga aku jawab dengan jawaban yang sama,
aku akan makan nanti selesai surah yasin dan doa arwah ini aku baca. Nenek
begitu mendukungku waktu aku jatuh, menyemangati aku agar tak ragu mempunyai
impian. Tapi aku tak bisa memberikan apapun kepadanya sekarang selain doa tulus
yang aku panjatkan yang semoga Allah emnijabahnya. Ini kado paling nenek
inginkan sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar