Penulis: Eka Novita Damayanti
Layar
monitor di hadapanku masih menyala. Penanda kursor berkedip genit seolah
menantangku menyambut untaian kalimat itu. Membalas apa saja yang bisa aku
balas. Memaki makian apa saja yang membuat hatiku tenang. Tapi aku hanya diam. Sepanjang
umur persahabatan kami baru inilah kami bertengkar. Sekali dan langsung hebat.
“I
will end this connection which I did.” Seperti tak percaya mataku sendiri,
berulang kali aku baca surelnya ke inbox
ku. Diam dalam bisu dan tak percaya, sahabat terbaikku tega mengatakan hal
sekejam itu padaku.
Ingatku
melayang ke beberapa tahun silam saat kami berdua remaja. Pulang sekolah adalah
waktu favorit kami. Saat kami bela-belain
menempuh jarak lumayan jauh dari sekolah ke Blok M hanya untuk membeli
album terbaru band idola atau membeli poster-poster mereka yang kami koleksi
lengkap sampai dinding kamar sudah seperti studio band rock dengan tempelan poster-poster itu di dinding. Waktu itu
yang ada hanya canda tawa di antara aku dan Ida.
♥♥♥
Aku rasa aku harus berterimakasih
pada facebook, social media yang
telah menjembatani pertemuan kami lagi setelah berbelas-belas tahun terpisah. Selama
itu aku mencari keberadaannya, Nihil. Tak banyak teman yang tahu di mana dia
dan apa pekerjaannya. Tiba-tiba jreng! Ida (sebut saja begitu) seperti jatuh
dari langit, muncul begitu saja di account
facebookku. Aku senang keadaannya
baik-baik saja. Tetap menggilai band yang
sama idola kami waktu remaja, sedang aku sudah lama tidak. Dia juga sudah
menikah dan punya dua anak, sedang aku belum seberuntung itu.
Setiap kali log in, aku jumpai Ida sedang online,
begitu juga sebaliknya. Setiap kali dia log
in, maka ditemuinya aku juga ada di sana. Social media ini telah sukses membuat kami berdua sama-sama kecanduan.
Selalu ingin log in setiap saat. Dari
Ida aku tahu kabar-kabar teman-teman kami. Si A sekarang bekerja di perusahaan
ini. Si B sekarang tinggal di kota itu, sudah menikah dan punya anak banyak. Si
C sebentar lagi akan melahirkan anak ketiga dan masih banyak lagi. Selain itu,
dia juga sering menuliskan sesuatu di statusnya
dan tulisannya lebih dari lumayan. Membuat aku minder mengaku bercita-cita menjadi seorang penulis di hadapannya. Selain
menulis, dia juga rajin berbagi artikel menarik tentang apa saja. Tapi akhir-akhir
ini keningku sering dibuatnya berkerut membaca artikel-artikel postingannya berikut
komentar-komentarnya yang mojokan Islam.
Suatu hari misalnya, dia meng-up load sebuah photo spanduk kampanye pemilihan kepala suatu
daerah dari sebuah ormas Islam. Mungkin tim suksesnya lalai memeriksa atau apa,
tapi penggunaan Bahasa Inggris di spanduk itu tidak pas bila dikaitkan dengan
kaidah Bahasa Inggris yang baik dan benar dan itu menjadi bahan olok-oloknya.
Postingan artikel berikutnya giliran
seorang habib yang menjadi bulan-bulanannya. Di sana, Ida menuliskan
komentar-komentarnya di facebook yang
meniru-niru logat Bahasa Arab sang habib yang tentu saja dilebih-lebihkan. Mungkin
tak mengapa baginya, tapi hatiku kian resah.
“Ini
mulai tak bisa dibiarkan!” Sejumput solidaritas muslim di sudut hati
mendesak-desak aku melakukan sesuatu. Sialnya, sekali lagi, aku tetap tak
melakukan apa-apa. Aku tak tahu siapa yang telah menelikungnya, tapi membaca
beberapa postingan artikel itu, sangat
jelas dia sangat membenci Islam. Namun itu belum seberapa, postingan
selanjutnya bahkan lebih ‘hot’ lagi. Tentang kerusuhan dua aliran dalam Islam di
Madura. Yang membuat ‘hot’ tentu saja komentarnya yang membuat panas hati. Aku
mulai mempertanyakan diri sendiri wajarkah aku diam saja sementara agama
sendiri dihina dina orang? Begitu mahalnyakah harga yang harus aku bayar demi
mempertahankan hubungan baik dengan si sahabat lama? Bathinku bertarung yang bodohnya
aku justru memaksakan diri untuk mengerti. Aku, entah bagaimana selalu berkata
pada diri sendiri, ini akan menjadi yang terakhir. Dia hanya asal bicara dan
sama sekali tak bermaksud apa-apa. Jangan dimasukkan ke dalam hati karena
seiring matahari terbit pagi hari, dia akan melupakan apa yang terjadi dan
bersikap manis lagi.
Menghindari
kesal hati, aku memilih tidak online
selama beberapa hari. Tak lupa sebelum offline
aku baik-baik mengingatkan bahwa orang mungkin saja salah persepsi membaca
semua postingannya. Aku dengan I’tikad baik seorang sahabat tidak ingin dia
terkena imbas perbuatannya sendiri karena siapa sangka reaksi yang akan
diterimanya. Apa komentarnya? Santai saja dia menjawab, “The haters always hate, so why bother?”
Hey, who are the haters anyway?
Selama
masa rehatku aku berpikir, apa benar yang aku lakukan ini. Apa demi menjaga
persahabatan dengannya aku rela Islam terus menerus dipojokan? Apa aku terus
beranggapan baik sementara dia tidak? Apakah aku siap online lagi dan menemukan hal yang sama lagi?
Kekhawatiranku
terbukti. ‘Senggolan’ Ida justru bertambah garang. Makin gencar menyerang dan
mengorek hal-hal yang menyudutkan Islam. Masih saja mengumbar leluconnya yang
sangat menghina Islam. Seolah Islam adalah agama paling buruk yang mencintai
kekerasan. Aku tak tahu mengapa dia melakukan ini, tapi jelas sekali dia sangat
menikmati apa yang dia lakukan. Herannya, tak satupun teman-teman kami yang
terusik dengan tingkahnya dan aku juga tak lebih baik dari mereka.
Hari terakhir ‘bertemu’ dia di social media itu adalah saat yang sangat
tak bisa aku toleransi lagi. Tanpa ampun, artikelnya saat itu benar-benar
menohok perasaan kaum muslimin. Ringan saja. Tanpa perasaan sungkan bahwa
Indonesia adalah negara berpenduduk muslim nomor satu terbesar di dunia.
Seperti postingan-postingan sebelumnya, tergambar jelas dia seperti menikmati
sekali apa yang dilakukannya. Aku tak tahu siapa yang sudah menelikungnya, tapi
kelihatan jelas sekali dia sangat benci Islam dan muslimin.
Malam aku putuskan menulis surel padanya berisi uneg-unegku selama
ini. Aku memang masih banyak kekurangan dalam beribadah. Masih sering lalai
sholat, masih malas saum sunah, kadang-kadang merasa terpaksa bila membaca Al
Qur’an, masih sering menentang orangtua, tapi tindakannya menguras semua rasa
sabarku padanya. Allah akan marah padaku kalau aku diam saja sementara
sebenarnya aku bisa melakukan sesuatu. Maka aku minta baik-baik padanya untuk
menghentikan ‘hobi’nya yang tak wajar itu karena itu sangat mencederai perasaan
umat Islam. Aku katakan juga, Indonesia sudah sangat ‘gerah’ dengan semua
huru-hara berbau sara, tak usahlah dia tambah lebih gerah lagi dengan apa yang dia
lakukan. Sengaja aku kirimkan khusus ke inboxnya,
bukan di statusnya, menghindari meluasnya konflik ini. Aku tulis semua atas
nama seorang muslim abangan dan kekhawatiran
seorang sahabat. Aku berharap dia masih punya nurani untuk mengerti apa yang
aku maksudkan.
Tak perlu menunggu lama, keesokan
paginya, aku sudah dapat balasannya. Bukan permintaan maaf seperti yang aku
kira, justru serantetan kalimat pedas.
Eh
sorry ya. Kalo elo gak suka, ya udah gak usah dibaca aja. Who the hell you are
telling me what to do? I will end this connection which I did.” Tulisnya
jelas dan lugas.
Reaksi
pertama, aku bengong. Tak percaya
mataku sendiri. Berulang kali aku baca emailnya,
berharap matakulah yang salah, tapi tidak. Kalimat-kalimatnya begitu jelas dan keras.
Sesaat
kemudian, wajahku panas. Begitu juga hatiku. Rasa marah yang selama ini aku
tahan di dada, meluap naik sampai ke kerongkongan.
“Hey, kamu nggak bisa seenak-enaknya
menghina agama orang lain dan dengan santai bilang ‘Kalo elo gak suka, ya udah gak usah dibaca aja! Ini sama sekali
nggak adil!” Batinku berontak. Serentetan kalimat-kalimat makian siap meluncur
mulus dan kalau memang perang dunia maya yang diinginkannya, itulah yang akan dia
dapatkan. Persetan persabatan kami selama ini! Toh, sembilan puluh persen
sahabat kami muslim dan mereka pasti membela aku. Kalau memang mereka membela
aku.
Sejurus kemudian sesuatu datang
menyelamatkan aku. Berulang kali aku lantunkan kalimat-kalimat istigfar sampai
gemuruh dalam dada mereda, dan niat menggalang teman-teman dalam peperangan ini
akhirnya aku batalkan. Bukan karena takut padanya. Seperti pemahamanku semula, aku
tak ingin apa yang akan aku lakukan menjadi bensin yang menambah nyala api kerusuhan
berbau sara yang makin marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Aku lebih
berpikir pada penyebab Ida berani melakukan ini. Ya, kurang kompaknya kami, aku
dan teman-teman sesama muslim dalam menyikapi aksi ‘memancing kemarahan’ ala
Ida. Seandainya kami kompak bersatu. Menegurnya secara baik-baik, mengukir
prestasi sehingga membuatnya melihat kehebatan Islam, aku yakin hasilnya akan
lain. Ida paling tidak akan mengurangi intensitas lelucon buruknya itu karena
ada banyak teman muslim yang tak suka dia melakukan itu. Aku yakin, saat
pertama dia melancarkan postingannya, dia menunggu reaksi yang sayangnya
teman-teman kami justru tenang-tenamg saja sehingga dia bertambah berani.
Aku tahu pada dasarnya dia orang
baik. Entah apa yang menelikungnya sehingga membuat dia jadi seperti ini. Semoga
Allah membukakan pintu hatinya sehingga dia mengerti apa yang dilakukannya itu
mencederai perasaan umat suatu agama. Tapi seandainya memang dia tidak berubah
atau berkeras tak ingin berubah, aku yakin Allah Maha Adil. Dia akan mengganjar
masing-masing kita sesuai apa yang kita lakukan.
Saya iseng brosing di Google cari informasi tentang Kaos Selembe, eh ternyata membawa saya ke sini. Wah senang bertemu dengan Blogger Pontianak. Jarang jarang loh hiehiehiee. Salam kebal eh kenal ya.
BalasHapusSaya di Pontianak Post, lantai 5, nama saya Asep Haryono. Kamu dimana sekarang? Sudah bekerja atau masih kuliah? Kontak kontak ya
Asep Haryono
simplyasep.blogspot.com
Makasih udah mampir, Iya itu tulisan saya tentang Pontianak waktu ada lomba tulis traveling. Ortu saya asli Pontianak (Siantan) tapi sekarang di Palembang. menetap udah bertahun2 di sini
BalasHapusT-Bone and titanium dioxide in food, drinks, beverage
BalasHapusThe T-Bone micro touch trimmer and titanium dioxide are used titanium eyeglasses for a variety babyliss pro nano titanium hair dryer of foods cost of titanium including hot titanium armor and cold drinks and tea drinks,