Oleh: Eka Novita Damayanti
Jujur, berbulan-bulan saya di Bali,
belum semua tempat wisata di pulau cantik ini saya datangi. Hari itu, mumpung adik
saya Jimmy dari Jakarta datang, tak pikir panjang saya ‘paksa’ dia menemani
saya jalan-jalan. He he……
Berbekal hasil ‘searching’ di dunia
maya, kami berangkat menuju Klungkung pagi-pagi sekali. Alasan kami memilih
Klungkung adalah karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Ibukota Propinsi
Denpasar.
Dari posisi kami di Jimbaran, kami naik
Bis Trans Sarbagita (Busway nya Bali) menuju Terminal Bis Batu Bulan. Alasan
kami naik transportasi umum daripada menyewa sepeda motor adalah karena ingin
lebih merasakan sensasi berpetualang ala backpacker dank arena memang tak punya
SIM. Jadi daripada harus menanggung repot resiko tertangkap operasi polisi di
jalan, ya sudah naik kendaraan umumlah jadinya.
Buat yang belum pernah naik Bis
Sarbagita, perlu mengetahui kalau halte bis tersebar di hamper sepanjang
jalan-jalan utama di Denpasar dan sekitarnya. Ada dua koridor utama yang
dilayani. Koridor pertama: jurusan GWK- Denpasar dan koridor dua melayani
jurusan Nusa Dua- Batu Bulan. Jurusan inilah yang kami jalani.
Tak seperti Busway di Jakarta, bis
kota Bali ini tak datang setiap saat. Butuh kesabaran menunggunya karena
biarpun sudah ada jadwal kedatangan dan keberangkatan, tapi karena sesuatu dan
lain hal seperti kemacetan di Denpasar dan sekitarnya yang terbilang rawan,
maka jadwal yang sudah ada pun jadi sedikit kacau balau jadinya.
Sekitar satu jam lebih kami
menunggu. sampai akhirnya transportasi umum yang digagas oleh Gubernur Mangku
Pastika untuk mengentas kemacetan di Provinsi Bali ini, akhirnya datang juga.
Bisnya cukup nyaman. Luas, bersih, terbilang masih baru dan ber-AC pula. Dan
cukup membayar Rp. 3.500 saja sampai ke Terminal Batu Bulan. Murah kan? Memang
murah, tapi heran sampai saat ini orang
Bali lebih suka naik pribadi (motor atau mobil) sehingga tak jarang armada bis
berlalu dengan membawa tak lebih dari lima orang penumpang saja.
Sekitar setengah jam, kami tiba di
Terminal Bis Batubulan. Eits, kita belum sampai di tujuan kita di Klungkung,
sob. Dari Batu Bulan, masih harus naik dua kali angkutan lagi yaitu dengan angkot
isuzu, demikia banyak orang Bali menyebutnya, sampai ke pusat Kota Semarapura. Tidak
seperti Bis Sarbagita tadi, angkot isuzu jauh dari kata nyaman. Teman-teman
harus rela berdesakan dengan ibu-ibu para pedagang yang membawa serta dagangan
atau belanjaan mereka. Tak ada AC, tapi biayanya bisa lebih mahal. Sekitar Rp.
10.000 sampai ke suatu tempat untuk berganti kendaraan lagi dengan angkot warna
kuning kentang sampai ke pusat Kota Semarapura.
“Ini tempatnya.” Suara pak supir mengagetkan
saya yang sedang asik melihat keluar jendela. Di hadapan saya sebuah bangunan
seperti sebuah kantor dengan para pegawai berseragam di dalamnya.
“Bener ini tempatnya Pak?” Tanya
saya sambil menyerahkan selembar uang kertas duapuluh ribu yang dijawab pak
supir dengan anggukan kepala sambil tangannya mengembalikan selembar uang
sepuluh ribu.
“Ya, benar. Itu tempatnya.” Jawabnya.
Tanya kiri-kanan, memang itulah
tempat yang kami tuju, Kertha Gosa yang mashur itu. Karena tujuannya datang ke
Bali memang untuk menambah koleksi photo pribadinya, Jimmy adik saya, langsung
mengeluarkan kamera kesayangannya yang terus dibawa kemanapun dia pergi dan
disayanginya dengan sepenuh hati (maaf ya sedikit lebay) dari tempatnya dan
langsung mengambil gambar beberapa sudut menarik dari bangunan bersejarah ini.
Berdasarkan sejarah, Kerta Gosa
adalah bagian dari komplek bangunan kerajaan Klungkung yang dibangun pada tahun
1686 oleh pemegang kekuasaan pertama yaitu Ida I Dewa Agung Jambe. Pada jaman
dahulu Kerta Gosa adalah tempat diskusi mengenai situasi keamanan, keadilan,
dan kemakmuran wilayah kerajaan Bali, atau tempat pengadilan pada jaman dulu. Kerta
Gosa terdiri dari dua buah bangunan, yaitu Bale Kerta Gosa dan Bale Kambang,
yaitu bangunan yang dikelilingi kolam dan taman yang disebut Taman Gili.
Masuk ke kompleks bangunan
bersejarah ini, setiap pengunjung baik turis local maupun internasional
dikenakan biaya sekitar Rp.15.000. Harga tersebut sudah termasuk tiket masuk
dan sewa kamen atau kain panjang yang disediakan tepat di pintu masuk bagi
mereka yang memakai celana pendek atau rok mini. Karena bangunan bersejarah ini
termasuk yang dihormati, jadi kalau kita ingin masuk ke dalamnya juga harus
mengenakna pakaian yang sopan.
Di dalam kompleks, akan kita lihat Bale
Kerta Gosa yang merupakan sebuah bangunan tinggi di sudut kanan setelah pintu
masuk dan Bale Kambang yang lebih besar terletak di tengah dan dikelilingi oleh
kolam.Keunikannya Kertha Gosa ada
di terletak di langit-langitnya yang bergaya Kamasan. Masih ada sebuah
Pura dan museum di kompleks ini. Museum menyimpan benda-benda peninggalan raja
mulai dari furniture, tandu, lukisan-lukisan, buku dan lain=lain yang
kondisinya masih terjaga dengan baik. Tapi jumlah ini hanya sebagian kecil saja
dari peninggalan kerajaan karena pada jaman penjajahan Belanda dulu, Kertha
Gosa pernah mengalami kerusakan parah.Sayang sekali ya?
Tidak
membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengelilingi Kertha Gosa. Selesai
menjelajah seluruh Kertha Gosa, pengunjung bisa menyebrang dan berjalan kaki
sekitar lima menit saja ke obyek wisata lain yaitu Monumen Puputan Klungkung di
sebelah timur Kerta Gosa atau di tengah Kota Semarapura. Tinggi banguanannya
sekitar 28 meter berbentuk Lingga-Yoni yang dibangun pada areal seluas 123
meter persegi berwarna hitam
Di dalam
monument, terdapat diorama perjuangan rakyat Klungkumg melawan penjajah
Belanda. Tempat yang baik untuk belajar sejarah Klungkung sebenarnya, tapi sayang
penerangan di ruangan dalam sangat minim sehingga ada kesan sedikit seram kalau
anda ke tepat ini sendirian he he !!! Oh ya, teman-teman tidak dikenakan biaya
apapun jika masuk ke areal monument ini.
Masih banyak
obyek wisata lain di Klungkung selain kedua tempat ini . Tapi karena keterbatasan
waktu (dan juga biaya), kami hanya menjelajah yang dekat-dekat saja. Setelah
Monumen Puputan, yang paling praktis adalah Desa Kamasan, senuah desa seniman
tak jauh dari pusat kota Semarapura. Sekitar sepuluh menit saja bila naik
angkot dari pusat kota semarapura (naik dari samping pasar Semarapura). Kalau
tidak salah ongkosnya sekitar Rp.5.000 saja. Tidak perlu takut kesasar ya?
Karena Klungkung tidak terlalu luas dan semua orang dengan senang hati kana
menunjukan kepadamu tempat mana yang kamu tuju. Namanya juga desa seni, kamu
akan mendapati dengan mudah nama-nama pelukis yang tinggal di sepanjang jalanan
desa Di sini kamu juga bisa belajar langsung lukisan tradisional Bali dari
pelukisnya loh!!
Waktu
mengunjungi Desa Kamasan ini beberapa waktu lalu, kebetulan bertepatan dengan perayaan
salah satu hari besar agama Hindu (maaf saya lupa namanya) sehingga sepanjang
jalan desa menjuntai indah penjor dari setiap rumah. Buat kalian pencinta
photograpy pasti tidak akan menyia-nyiakan pemandangan seperti ini.
Tidak terasa sore
cepat datang. Cepat kami bersiap pulang karena kalau tinggal lebih lama lagi,
kami akan kesulitan mendapatkan angkutan umum.
Padahal masih banyak tempat wisata menarik lainnya di Klungkung yang
belum kami datangi seperti Goa Lawah, Desa Tihingan, Museum Seni Lukis Klasik
Nyoman Gunarsa, Goa Jepang, Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Pantai Watu Klotok
atau Pantai Batu Klotok.
Watu Klotok ini
jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat kota Semarapura (sekitar 7 kilo meter
saja). Sebuah pantai nan cantik berpasir hitam. Konon nama ini diambil dari
bunyi bebatuan karang yang berkelotok bila diterpa ombak. Kita bisa juga
menjumpai sebuah pura bernama Pura Watu Klotok yang didirikan oleh Mpu Kunturan
dalam perjalanan sucinya ke Bali pada abad X.
Sayang pantai
cantik dan peninggalan sejarah ini terancam keberadaannya karena ulah penambang
batu kipas di pantai. Setiap hari ratusan orang mungkin lebih, menambang batu
kipas. Sebagaimana kita tahu, adanya bebatuan di pantai berfungsi menahan
kerasnya terpaan ombak. Tapi karena alasan ekonomi dari orang-orang yang tak
bertanggungjawab ini bisa mendatangkan bahaya abrasi pantai. Kata teman saya
yang tinggal di sana, konon saat ini bahkan suara ombak bisa terdengar dengan
sangat jelas dari rumahnya yang berjarak sekitar dua kilometer dari pantai.
Pemerintah
Klungkung bukan tidak melakkan tindakan apapun atas masalah ini. Tapi dasarnya
saja mereka bandel, berkali-kali pemerintah melarang, berkali-kali pula mereka
akan datang untuk menambang. Bila diteruskan, bukan tidak mungkin abrasi akan
mengancam daerah yang lebih luas lagi. Yuk,
kita lakukan sesuatu sebelum terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar