Penulis: Eka Novita Damayanti
Awal
Januari 2012, saya ikut ibu mudik pulang kampung ke Pontianak, Kalimantan Barat
karena ada kerabat kami yang menikah di sana. Sekitar seminggu saya di sana
lalu pulang ke Palembang karena alasan kesibukan.
Belum
lama saya di rumah. Saya ingat waktu itu malam hari waktu ibu yang masih di
kampung karena alasan masih kangen menelepon dan suara beliau yang girang
mengatakan malam itu beliau menjadi saksi Singkawang malih rupa menjadi Metropolitan Hongkong. Wah!!!!
Seandainya
saya tidak terburu-buru pulang waktu itu, saya juga bisa menyaksikan malam saat
kota kecil Singkawang berubah menjadi Metropolitan Hongkong.
♦♦
Di wilayah Provinsi Kalimantan
Barat, selain Ibu Kota Provinsi Pontianak, adalah Singkawang yang masyur
dikenal orang luar. Bagi yang belum tahu, Singkawang
atau San
Keuw Jong atau Shānkǒu Yáng adalah sebuah kotamadya di Kalimantan Barat dengan
luas sekitar 504 km2. Jaraknya sekitar 145 km dari Ibukota Propinsi Pontianak
atau kurang lebih 4-5 jam perjalanan dengan kendaraan umum (bis).
Singkawang
adalah kota kecil yang multikultur dengan komposisi penduduknya sebagian besar
adalah orang Hakka/Khek sekitar 42% dan selebihnya
terdiri atas orang Melayu, Dayak, Tio Ciu, Jawa dan pendatang lainnya.
Kedatangan orang Khek ini terjadi dalam
gelombang
migrasi besar-besaran
di tahun 1760 yang dibawa Belanda dari Guangdong China Selatan untuk
dipekerjakan sebagai kuli tambang emas dan intan di Monterado.Meskipun
secara fisik maupun budaya sebagian dari mereka sudah berasimilasi dengan
penduduk lokal Kalimantan Barat, mereka tetap mempertahankan adat istiadat
leluhur hingga kini seperti menganut agama Kong Hu Cu
dan Buddha sehingga
tak heran Kota Singkawang terkenal
dengan sebutan Kota Seribu Kelenteng
(Vihara) dan keberadaan kelenteng-kelentengnya
cantik, membuat suasana Singkawang seperti di China daratan.
Keluarga Besar Kami di Depan Sebuah
Kelenteng yang Ramai Bertebaran Mempercantik Kota Singkawang (Dokumen: Pribadi)
Untuk
mencapai Singkawang tak terlalu sulit. Ada tiga pilihan, yaitu: teman-teman
bisa naik bis antar kota yang ongkosnya dari Pontianak sampai Singkawang sekitar Rp 25.000 saja per orang.
Tak perlu takut kesasar karena petunjuk perjalanan sudah cukup jelas dan
orang-orang Singkawang sangat terbuka terhadap para pendatang.
Pilihan kedua adalah bagi yang ingin
praktis. Menyewa mobil berikut supir. Memang sedikit lebih mahal dibanding naik
kendaraan umum (bis luar kota) tapi pastinya sebanding dengan santainya teman-teman
di perjalanan dan bisa jadi lebih irit juga karena bisa bersama beberapa orang
sekaligus sekali berangkat. (Saya tak bisa memastikan berapa harga menyewa
mobil ini berikut sopirnya sampai ke luar kota karena pastinya satu rental akan
memasang harga yang tak sama dengan rental lainnya. Sebagai ilustrasi, untuk
dalam kota Pontianal saja harganya sekitar Rp.350.000).
Pilihan ketiga adalah yang paling
diminati (he he!!) Ibu dan rombongan keluarga besar kami beruntung karena
mendapat pinjaman mobil dari kantor tempat sepupu saya bekerja (he he, benarkan
lebih diminati?). Bisa lebih praktis dan ekonomis karena mengeluarkan uang
sekitar Rp. 50.000 saja untuk patungan membeli bensin plus sedikit camilan
ringan di perjalanan. Total untuk ongkos tak lebih dari Rp. 100.000 saja
perorang.
Selain
masyur dengan vihara-vihara cantiknya, Singkawang juga terkenal dengan kemeriahan
perayaan Imlek. Ya, sejak disyahkannya Keppres No. RI No. 6/2000 atas prakarsa Presiden
Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang mencabut Instruksi Presiden Soeharto Nomor
14 Tahun 1967, saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa bebas, bas, bas, untuk
menyelenggarakan hari raya Imlek dan kesempatan ini tentu saja tidak mereka
sia-siakan. Di malam pergantian tahun China itu, (tanggal 23 Janurai 2012
malam), rumah-rumah warga Tionghoa di sana, dari yang sangat sederhana,
menengah sampai ke rumah mewah, semuanya memasang pernak-pernik hiasan yang
serba merah perlambang kebahagiaan dan pastinya waktu yang ditunggu-tunggu saat
langit Singkawang ‘merekah’ oleh pesta kembang api.
Ibu
Saya dan Dua Saudara Kandungnya dengan Latar Belakang
Lampion yang Menghiasi Jalanan Kota Singkawang.
(Dokumen:
Pribadi)
Saya pernah menyaksikan pesta
kembang api yang megah waktu pembukaan
dan penutupan Sea Games di Palembang ini tahun 2011 lalu. Tapi ibu bilang,
pesta itu masih kalah jauh dengan pesta kembang api di Singkawang. “Lebih
meriah dan lama. Mungkin sekitar 5, 10 menitan. Mungkin lebih. Sahut menyahut
dari seluruh penjuru kota.” cerita ibu tentang Singkawang yang meriah laksana
Metropolitan Hongkong malam itu. Dan
beliau beruntung sekali bisa menyaksikan semua itu.
“Wah, yang ini letusannya tak kalah keren ya dari
sebelumnya?” Om ku tak berhenti berkomentar. (Dokumen:
Pribadi)
Di tengah benderang cahaya kembang
api, ibu menengok ke sekeliling. Jalanan sudah penuh sesak manusia. Besar kecil.
Tua muda. Muslim non Muslim. Melayu (sebutan orang Kalimantan buat orang
Indonesia) bahkan bulenya juga ada, semua tumplek
blek, menikmati malam itu. Semua ikut bergembira ria. Seperti tidak rela
melepas pergantian tahun yang indah ini begitu saja. Karenanya, Dinas Pariwisata Kota Singkawang
memasukkan megahnya perayaan imlek ini dala kalender kunjungan wisata unggulan
daerahnya.
Meskipun Berjilbab, Kehadiran Keluarga Kami di Tengah
Kemeriahan Imlek Tak Dipandang Aneh Karena Semua Manusia Tumplek Blek Malam
Itu.
(Dokumen:
Pribadi)
Tidak hanya jadi ajang bergembira
ria, warga yang merayakan imlek juga bersyukur atas berkah rejeki selama
setahun yang mereka lalui. Mereka mendatangi tempat-tempat peribadatan (vihara,
kelenteng, dll) seraya memanjatkan doa semoga di tahun mendatang mereka juga
mendapatkan rejeki yang semakin berlimpah.
Ibu dan Keponakan Kecil Saya dengan Latar Belakang Umat yang
Menghadiri Persembayangan di Sebuah Kelenteng (Dokumen:
Pribadi)
Sayang banyak yang salah menafsirkan
ini. Menyangka Imlek (Xin Jia) sebagai perayaan hari besar agam Khong Hu Chu. Padahal, meninjau dari sejarahnya, imlek
adalah perayaan yang dilakukan oleh para petani di daratan Tiongkok sana karena
diberikan hasil panen yang melimpah pada saat musim semi setelah kerasnya musim dingin yang mereka
lalui. Begitu cerita Ibu Sherly, guru Mandarin saya.
Jadi, apapun agamamu, asalkan
teman-teman merasa berdarah warga keturunan China, boleh dan syah merayakan
imlek (Xin Jia). Bersyukur karena rejeki
yang teman-teman dapat, bisa disesuai dengan tempat peribadatan agama
masing-masing.
Selain bergembira dan bersyukur, perayaan
setahun sekali ini diisi dengan berbagai kegiatan yang intinya adalah
bersilahturahmi. Saling mengunjungi keluarga karena warga keturunan percaya
dibalik kesuksesan seseorang ada orang yang berjasa (orangtua, guru,
teman-teman, kerabat, dan lain-lain) kepada orang-orang itulah mereka
bersilahturahmi.
Okelah. Mulai tertarik? Pastinya!
Sensasi setahun sekali ini memang sayang kalau dilewatkan begitu saja. Saya,
salah satu orang yang menyesal tidak bisa langsung menghadirinya (hikkkss!).
Seandainya saya mudik lagi, saya pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan
itu. Apalagi di Singkawang ada keluarga yang bisa saya tumpangi plus makan gratis juga (he he…) sehingga
pengeluaran untuk akomodasi bisa diminimalkan. Itulah untunganya punya keluarga
besar.
Teman-teman tidak punya keluarga di
Singkawang? Tenang. Meskipun sebuah kota kecil, Singkawang sudah teroraganisasi
dengan baik. Aman dan bersahabat dengan para pendatang baru. Bahkan yang belum
berpengalaman ke sana sama sekali. Ada banyak penginapan di sana mulai dari
yang murah merian sampai yang mahal. Berikut saya rekomendasikan tiga di antara
yang banyak itu sebagai pertimbangan teman-teman.
Yang pertama adalah Mahkota Hotel
(Bintang 3) di Jalan Diponegoro no 1 Singkawang. Harga yang ditawarkan mulai Rp
329.000, kemudian ada Palapa Beach Hotel di daerah wisata Pasir Panjang
Singkawang dengang kisaran harga sekitar 349.000. Hotel yang sangat
direkomendasikan buat teman-teman yang menyukai suasana pantai. Masih ada Hotel
Khatulistiwa di Jalan Diponegoro 25 Singkawang dengan harga sekitar Rp.
412.000-an dan masih banyak lagi pilihan lainnya di sini. Pastikan teman-teman
melakukan reservasi dulu ya sebelum berangkat untuk menjamin ketersediaan
kamar. Maklum di kesempatan ramai Imlek ini, tak sedikit orang yang sama ingin
ke sana.
Bagaimana dengan makan? Wow,
Singkawang terkenal untuk urusan yang satu ini. Bakso Singkawang, adalah yang
saya rekomendasikan di urutan pertama. Rasanya sungguh tak mengecewakan. Dulu, waktu
masih bekerja di Pemangkat (sekitar 30 km dari Singkawang), bakso Singkawang
ini yang pertama saya cari setiap main ke sana. Selain bakso yang bikin ngiler, masih ada tahu Singkawang yang homemade dan aman dikonsumsi karena
terbuat dari kedelai alami dan tanpa bahan pengawet. Rasanya boleh diadu. Tak
asam seperti tahu-tahu kebanyakan. Masih ada lagi produk turunannya yaitu bubur
tahu dan air tahu yang juga enak pastinya. Tapi kemungkinan teman-teman akan
sedikit kesulitan mencari makanan di Singkawang pada tahun baru Imlek begini.
Tak lain karena banyak restoran dan rumah makan tutup di hari pertama sampai
dengan hari ke empat kira-kira, karena pemiliknya merayakan imlek. Pilihan yang
tersisa adalah makan di hotel atau di rumah makan milik orang-orang Melayu. Tapi
seorang teman pernah cerita ada saja satu dua rumah makan, restoran ataupun
toko yang buka meski di tahun baru seperti itu. Bagi mereka yang berkomitmen
buka seperti ini, konsekuensinya adalah mereka ‘harus’ tetap buka selamanya
dari hari pertama imlek sampai terakhir nanti. Ada lagi nih. Banyak rumah makan
halal, tapi teman-teman muslim, tak ada salahnya sedikit berhati-hati memilih
di mana akan makan di Singkawang ini.
Begitu sedikit cerita tentang perayaan tahun baru Imlek, Shin Chia atau Xin Nian
yang penuh makna. Perayaan kebudayaan yang telah lama ‘dikebiri’ oleh
pemerintah orde baru untuk alasan yang tidak jelas. Berwisata ke sini
teman-teman akan mendapat ‘paket lengkap’. Tak sekedar bersenang-senang, tapi
juga belajar budaya serta menghormati dan mencintai perbedaan. Ibarat kata,
untuk membuat sebuah resep kue saja dibutuhkan bahan-bahan yang beragam.
Apalagi untuk membangun bangsa sebesar ini.
♦♦
Informasi
Tambahan:
- Versi lain dari Perayaan Imlek
ini adalah rasa syukur penduduk karena terbebas dari gangguan dan ancaman
Nian (baca: Nien) seekor mahluk jahat yang turun gunung satu tahun sekali
untuk memangsa apa saja yang dilihatnya termasuk manusia. Guna menghindari
ancaman Nian, penduduk memasang kain, pernak-pernik hiasan, sampai memakai
baju berwarna merah karena Nian si mahluk jahat itu sangat takut melihat
warna itu. Selain itu, mereka juga membunyikan bunyi-bunyian keras
termasuk petasan karena si Nian juga tak suka itu. Dari cerita inilah
kiranya orang-orang selalu memakai baju merah dan memasang ornament serba
merah dan membunyikan bunyi-bunyian keras pada tahun baru China ini.
- Yang tak bisa dilepaskan dari
Tahun Baru China atau Imlek atau Xian Nian ini adalah falsafah hidup warga
keturunan yang pekerja keras dan hemat (kabarnya bahkan cenderung pelit,
mohon maaf sebesarnya kalau saya salah), namun di perayaan tahun baru,
mereka justru menghabiskan sebagian besar uang yang mereka kumpulkan
selama ini sebagai tanda bersyukur atas rejeki yang diberikan Tuhan. Salah
satunya adalah dengan membeli kembang api ini. Mereka tak ragu sedikitpun
untuk keluar uang betapapun besarnya.
- Puncak perayaan adalah
arak-arakan Cap Go Meh keliling kota pada hari kelima belas. Seperti
Imlek, Cap Go Meh di Singkawang juga sama menariknya dan sayang kalau
dilewatkan.