Senin, 28 Januari 2013

SAHABAT LAMAKU


Penulis: Eka Novita Damayanti
Layar monitor di hadapanku masih menyala. Penanda kursor berkedip genit seolah menantangku menyambut untaian kalimat itu. Membalas apa saja yang bisa aku balas. Memaki makian apa saja yang membuat hatiku tenang. Tapi aku hanya diam. Sepanjang umur persahabatan kami baru inilah kami bertengkar. Sekali dan langsung hebat.
“I will end this connection which I did.” Seperti tak percaya mataku sendiri, berulang kali aku baca surelnya ke inbox ku. Diam dalam bisu dan tak percaya, sahabat terbaikku tega mengatakan hal sekejam itu padaku.
Ingatku melayang ke beberapa tahun silam saat kami berdua remaja. Pulang sekolah adalah waktu favorit kami. Saat kami bela-belain menempuh jarak lumayan jauh dari sekolah ke Blok M hanya untuk membeli album terbaru band idola atau membeli poster-poster mereka yang kami koleksi lengkap sampai dinding kamar sudah seperti studio band rock dengan tempelan poster-poster itu di dinding. Waktu itu yang ada hanya canda tawa di antara aku dan Ida.
♥♥♥
            Aku rasa aku harus berterimakasih pada facebook, social media yang telah menjembatani pertemuan kami lagi setelah berbelas-belas tahun terpisah. Selama itu aku mencari keberadaannya, Nihil. Tak banyak teman yang tahu di mana dia dan apa pekerjaannya. Tiba-tiba jreng! Ida (sebut saja begitu) seperti jatuh dari langit, muncul begitu saja di account facebookku.  Aku senang keadaannya baik-baik saja. Tetap menggilai band yang sama idola kami waktu remaja, sedang aku sudah lama tidak. Dia juga sudah menikah dan punya dua anak, sedang aku belum seberuntung itu.
            Setiap kali log in, aku jumpai Ida sedang online, begitu juga sebaliknya. Setiap kali dia log in, maka ditemuinya aku juga ada di sana. Social media ini telah sukses membuat kami berdua sama-sama kecanduan. Selalu ingin log in setiap saat. Dari Ida aku tahu kabar-kabar teman-teman kami. Si A sekarang bekerja di perusahaan ini. Si B sekarang tinggal di kota itu, sudah menikah dan punya anak banyak. Si C sebentar lagi akan melahirkan anak ketiga dan masih banyak lagi. Selain itu, dia juga sering menuliskan sesuatu di statusnya dan tulisannya lebih dari lumayan. Membuat aku minder mengaku bercita-cita menjadi seorang penulis di hadapannya. Selain menulis, dia juga rajin berbagi artikel menarik tentang apa saja. Tapi akhir-akhir ini keningku sering dibuatnya berkerut membaca artikel-artikel postingannya berikut komentar-komentarnya yang mojokan Islam.
            Suatu hari misalnya, dia meng-up load sebuah photo  spanduk kampanye pemilihan kepala suatu daerah dari sebuah ormas Islam. Mungkin tim suksesnya lalai memeriksa atau apa, tapi penggunaan Bahasa Inggris di spanduk itu tidak pas bila dikaitkan dengan kaidah Bahasa Inggris yang baik dan benar dan itu menjadi bahan olok-oloknya.
            Postingan artikel berikutnya giliran seorang habib yang menjadi bulan-bulanannya. Di sana, Ida menuliskan komentar-komentarnya di facebook yang meniru-niru logat Bahasa Arab sang habib yang tentu saja dilebih-lebihkan. Mungkin tak mengapa baginya, tapi hatiku kian resah.
“Ini mulai tak bisa dibiarkan!” Sejumput solidaritas muslim di sudut hati mendesak-desak aku melakukan sesuatu. Sialnya, sekali lagi, aku tetap tak melakukan apa-apa. Aku tak tahu siapa yang telah menelikungnya, tapi membaca beberapa postingan artikel itu,  sangat jelas dia sangat membenci Islam. Namun itu belum seberapa, postingan selanjutnya bahkan lebih ‘hot’ lagi. Tentang kerusuhan dua aliran dalam Islam di Madura. Yang membuat ‘hot’ tentu saja komentarnya yang membuat panas hati. Aku mulai mempertanyakan diri sendiri wajarkah aku diam saja sementara agama sendiri dihina dina orang? Begitu mahalnyakah harga yang harus aku bayar demi mempertahankan hubungan baik dengan si sahabat lama? Bathinku bertarung yang bodohnya aku justru memaksakan diri untuk mengerti. Aku, entah bagaimana selalu berkata pada diri sendiri, ini akan menjadi yang terakhir. Dia hanya asal bicara dan sama sekali tak bermaksud apa-apa. Jangan dimasukkan ke dalam hati karena seiring matahari terbit pagi hari, dia akan melupakan apa yang terjadi dan bersikap manis lagi.
Menghindari kesal hati, aku memilih tidak online selama beberapa hari. Tak lupa sebelum offline aku baik-baik mengingatkan bahwa orang mungkin saja salah persepsi membaca semua postingannya. Aku dengan I’tikad baik seorang sahabat tidak ingin dia terkena imbas perbuatannya sendiri karena siapa sangka reaksi yang akan diterimanya. Apa komentarnya? Santai saja dia menjawab, “The haters always hate, so why bother?”
Hey, who are the haters anyway?
Selama masa rehatku aku berpikir, apa benar yang aku lakukan ini. Apa demi menjaga persahabatan dengannya aku rela Islam terus menerus dipojokan? Apa aku terus beranggapan baik sementara dia tidak? Apakah aku siap online lagi dan menemukan hal yang sama lagi?
Kekhawatiranku terbukti. ‘Senggolan’ Ida justru bertambah garang. Makin gencar menyerang dan mengorek hal-hal yang menyudutkan Islam. Masih saja mengumbar leluconnya yang sangat menghina Islam. Seolah Islam adalah agama paling buruk yang mencintai kekerasan. Aku tak tahu mengapa dia melakukan ini, tapi jelas sekali dia sangat menikmati apa yang dia lakukan. Herannya, tak satupun teman-teman kami yang terusik dengan tingkahnya dan aku juga tak lebih baik dari mereka.
            Hari terakhir ‘bertemu’ dia di social media itu adalah saat yang sangat tak bisa aku toleransi lagi. Tanpa ampun, artikelnya saat itu benar-benar menohok perasaan kaum muslimin. Ringan saja. Tanpa perasaan sungkan bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk muslim nomor satu terbesar di dunia. Seperti postingan-postingan sebelumnya, tergambar jelas dia seperti menikmati sekali apa yang dilakukannya. Aku tak tahu siapa yang sudah menelikungnya, tapi kelihatan jelas sekali dia sangat benci Islam dan muslimin.
            Malam aku putuskan menulis surel padanya berisi uneg-unegku selama ini. Aku memang masih banyak kekurangan dalam beribadah. Masih sering lalai sholat, masih malas saum sunah, kadang-kadang merasa terpaksa bila membaca Al Qur’an, masih sering menentang orangtua, tapi tindakannya menguras semua rasa sabarku padanya. Allah akan marah padaku kalau aku diam saja sementara sebenarnya aku bisa melakukan sesuatu. Maka aku minta baik-baik padanya untuk menghentikan ‘hobi’nya yang tak wajar itu karena itu sangat mencederai perasaan umat Islam. Aku katakan juga, Indonesia sudah sangat ‘gerah’ dengan semua huru-hara berbau sara, tak usahlah dia tambah lebih gerah lagi dengan apa yang dia lakukan. Sengaja aku kirimkan khusus ke inboxnya, bukan di statusnya, menghindari meluasnya konflik ini. Aku tulis semua atas nama seorang muslim abangan dan kekhawatiran seorang sahabat. Aku berharap dia masih punya nurani untuk mengerti apa yang aku maksudkan.
            Tak perlu menunggu lama, keesokan paginya, aku sudah dapat balasannya. Bukan permintaan maaf seperti yang aku kira, justru serantetan kalimat pedas.
            Eh sorry ya. Kalo elo gak suka, ya udah gak usah dibaca aja. Who the hell you are telling me what to do? I will end this connection which I did.” Tulisnya jelas dan lugas.
Reaksi pertama, aku bengong. Tak percaya mataku sendiri. Berulang kali aku baca emailnya, berharap matakulah yang salah, tapi tidak. Kalimat-kalimatnya begitu jelas dan keras.
Sesaat kemudian, wajahku panas. Begitu juga hatiku. Rasa marah yang selama ini aku tahan di dada, meluap naik sampai ke kerongkongan.
            “Hey, kamu nggak bisa seenak-enaknya menghina agama orang lain dan dengan santai bilang ‘Kalo elo gak suka, ya udah gak usah dibaca aja! Ini sama sekali nggak adil!” Batinku berontak. Serentetan kalimat-kalimat makian siap meluncur mulus dan kalau memang perang dunia maya yang diinginkannya, itulah yang akan dia dapatkan. Persetan persabatan kami selama ini! Toh, sembilan puluh persen sahabat kami muslim dan mereka pasti membela aku. Kalau memang mereka membela aku.
            Sejurus kemudian sesuatu datang menyelamatkan aku. Berulang kali aku lantunkan kalimat-kalimat istigfar sampai gemuruh dalam dada mereda, dan niat menggalang teman-teman dalam peperangan ini akhirnya aku batalkan. Bukan karena takut padanya. Seperti pemahamanku semula, aku tak ingin apa yang akan aku lakukan menjadi bensin yang menambah nyala api kerusuhan berbau sara yang makin marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Aku lebih berpikir pada penyebab Ida berani melakukan ini. Ya, kurang kompaknya kami, aku dan teman-teman sesama muslim dalam menyikapi aksi ‘memancing kemarahan’ ala Ida. Seandainya kami kompak bersatu. Menegurnya secara baik-baik, mengukir prestasi sehingga membuatnya melihat kehebatan Islam, aku yakin hasilnya akan lain. Ida paling tidak akan mengurangi intensitas lelucon buruknya itu karena ada banyak teman muslim yang tak suka dia melakukan itu. Aku yakin, saat pertama dia melancarkan postingannya, dia menunggu reaksi yang sayangnya teman-teman kami justru tenang-tenamg saja sehingga dia bertambah berani.
            Aku tahu pada dasarnya dia orang baik. Entah apa yang menelikungnya sehingga membuat dia jadi seperti ini. Semoga Allah membukakan pintu hatinya sehingga dia mengerti apa yang dilakukannya itu mencederai perasaan umat suatu agama. Tapi seandainya memang dia tidak berubah atau berkeras tak ingin berubah, aku yakin Allah Maha Adil. Dia akan mengganjar masing-masing kita sesuai apa yang kita lakukan.

Kamis, 03 Januari 2013

A TIME WHEN WE LEARN FROM A STREET HOOLIGAN


By: Eka Novita Damayanti



Film Title        : Green Street Hooligans
Directed by
Produced by
Donald Zuckerman
Deborah Del Prete
Screenplay by
Story by
Lexi Alexander
Dougie Brimson









Cast
Matt Buckner, a college boy, is expelled from his campus for some cocaine found in his room. Matt tries hard to convince his campus that the cocaine does not belong to him, either he has the courage to speak  up that in fact cocaine belongs to his roommate, Jeremy Van Holden (Terence Jay) for Jeremy  is a famous family and this guy promise him to clear his name.  
Despite of feeling disappointed and sad, Matt travels to England where he visits his sister, Shannon (Claire Forlani) who marries an English man, Steve Dunham (Marc Warren) and lives there with their only baby boy. There, in Shanon’ house, Matt does not only meet his brother in law but also Steve’s brother, Pete Dunham (Charlie Hunnam) who coming to the house for some money.
Steve agrees to give money Pete needs with one condition he should take Matt to a soccer match that day between West Ham United and Birmingham City, since he and Shannon is going to a party.  Pete does not like the idea but cannot refuse it for Steve only gives the money Pete wants to Matt.
Pete takes Matt to a pub where his friends, the West Ham United hooligan firm or the GSE firm, gather before the match. Sure, they feel a little bit wired about Matt’s attendance since a Yankee normally does not watch or play soccer, but after a while, they get along to each other well and become good friends, except a guy, Bovver (Leo Gregory) that does not like the ‘outsider’ gets into the firm).
After the match, Matt decides to go back to Shannon’s house while all of his new friends go another place to arrange a fight against Birmingham City’s fans. What Matt does not know that some of Birmingham’s fans notice his time with the GSE and think he is one of them. They secretly follow him to teach him a lesson and in a small ally they manage to catch Matt and of course Matt are scared to death.
All he can do is begging them not to punch him and that makes them understand that the guy in front of them is a Yank from his American accent. Then comes a bunch of men so expectedly to the place. They are the GSE that understand this since in the stadium and a fight between the two hooligan firms happen. What makes the fight so special to Matt is that is his first fight. He learns how to punch a guy with his own hand and that makes him proud.  As days go by, Matt become more get use to fight with GSE and that worries Shannon a lot. She complains to her husband for his brother bringing a bad impact to Matt. Steve tries to pursue Matt not to get involve to another fight, but Matt insists that what he is all alright and nothing to be worried about. He even tells them he moves to Pete’s house.
            There are numbers of things that your young kids should not watch out of this movie like massive fight, violence and extra ordinary fanatics of a soccer team. But I think that draws part of hooligan life precisely and that what this movie wants us to see.
There are also numbers of things that we should appreciate about this movie: friendship, truthful, unconditional support to their beloved soccer team, no matter they win or lose the game and that what Indonesian national team supporters should learn from them. And what surprise me is hooligan are ordinary people too, I mean they do care and respect to other like we do and they also do jobs to make a living. Watching the film we finds out that Pete is a local sport and history teacher. He does a gentlemen thing by giving his seat to an old lady in a sub way. And that really touch me!) And at the end of the movie, the fighting lesson Matt learns from his hooligan friends proved to develop his self confidence to get a proof of Jeremy Van Holden's fault.
This movie tells us a real thing that is really happened in our everyday life. Every scene is well developed and all casts do their part so well. Most of them are British, so their sophisticated accent is another good point that makes the movie more interesting.
I strongly recommend this movie for soccer lovers in Indonesia to see. We could take good points and leave the bad to make Indonesian soccer even better.