Senin, 30 April 2012

KADO SELIMUT UNTUK NENEK


KADO SELIMUT UNTUK NENEK
Oleh: Eka Novita Damayanti
            “Bagaimana?” Nenek tanpa tedeng aling-aling bertanya waktu aku muncul di ambang pintu kamarnya siang itu.
            “Biasalah, Nek.” jawabku bosan sambil menghempaskan tubuh ini tepat di sebelahnya berbaring. Aku tak ingin nenek bertanya lebih jauh karena jawaban masih sama saja.
            Dengan tenaganya yang ringkih, nenek bersusah payah duduk. Mengambil suatu posisi agar lebih nyaman berbicang denganku. Baru mau ku bantu, terlambat, nenek sudah duduk sendiri.
            “Biasa bagaimana?” Dari balik kaca matanya yang setebal pantat botol, mata tuanya yang kelabu akibat katarak akut, memandang penuh tanya padaku.
            “Biasalah Nek, Luh menjalani serangkaian tes dan wawancara.”      “Terus?”
            “Terus Luh disuruh menunggu sampai mereka mengabari lebih lanjut tentang diterima tidaknya Luh bekerja di sana.”
            Nenek manggut-manggut. Beliau memang tak pernah mencicipi bangku sekolah. Sama sekali. Menakjubkan, beliau selalu nyambung aku ajak bicara tentang masalah apapun, bahkan sampai urun pendapat. Kalau saja nenek sempat sekolah, aku tak yakin bisa mengalahkan kecerdasannya.
            Aku mengeluh panjang pendek. Seperti biasa. Tentang percuma saja aku bersusah payah nenteng buku dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, tentang percuma saja aku nekad mengiyakan ajakan paman dan bibi pindah ke sini dengan harapan di kota kecil ini aku akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan, tentang rasa ibaku pada ayah dan ibu yang sudah menggelontorkan banyak uang tak sedikit untuk biaya pendidikanku kalau akhirnya aku menjadi seperti ini. Tak lebih dari seorang sarjana pengangguran.
            “Padahal yang Luh inginkan nggak macam-macam, Nek.” Aku melenguhkan napas panjang. Dadaku terasa sesak oleh beban hidup lama tak mendapat kerja ini.
            “Hanya ingin punya penghasilan sendiri. Sedikit, cukuplah. Apa permintaan Luh itu berlebihan?
            Nenek lurus memandangku. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Terpancar jelas di mata tuanya yang kelabu karena katarak. Tapi nenek menolak waktu aku tanya apa gerangan yang sedang dipikirkannya.
            “Luh tenang saja.” Nenek mengelus rambutku. Tangannya yang keriput tapi sangat halus menyentuh rambutku sayang.
            “Jangan pernah Luh putus asa dari rahmat Allah.” Suara nenek bergetar. Hatiku juga. Semua bilang, dari semua cucunya, akulah yang paling nenek sayang. Tapi aku tak terlalu merasa demikian. Aku percaya nenek juga sangat sayang pada cucu-cucu yang lain. Tapi disadari atau tidak, aku sering putus asa dari rahmat Allah. Merasa akulah orang yang paling bernasib sial di kolong jagad ini. Lebih sering mengeluh daripada bersyukur.
            “Luh lihat dan teliti, mungkin ada kesalahan atau sesuatu yang Luh lupakan.”
            Aku terlonjak, duduk.
            “Maksud Nenek?”
            “Mungkin Luh pernah menyakiti seseorang. Membuat orang lain sakit hati dengan perbuatan atau perkataan Luh.” Nenek masih membelai rambutku. Wangi kain panjangnya yang seperti bau pandan, melekat dalam otakku. Membuat aku sanggup mengenali nenek meskipun dalam keadaan mata tertutup.
“Perrcaya atau tidak, doa orang teraniyaya itu manjur diijabah Allah.”
            Aku angkat kepalaku dari pangkuan nenek. Termangu. Mengingat-ingat segala sesuatu yang pernah aku katakan atau ucapkan. Hal-hal yang menyebalkan yang mungkin membuat orang ingin meninjuku misalnya, kalau tak ingat aku seorang perempuan. Aku tak ingat. Entahlah mungkin saja.
            “Lalu Nek?”
            “Luh harus minta maaf pada orang itu. Minta keiklasannya memaafkan Luh.”
            Betul juga.
Masih belum puas, aku tanyakan apa yang nenek maksud dengan sesuatu yang aku lupakan. Gerangan apa itu sebenarnya. Jawaban nenek di luar dugaanku.
            “Setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing…. karunia Allah SWT. Orang lain punya, Luh juga pasti ada.” Getaran semakin kuat di suaranya, kemudian batuk-batuk. Aku bergegas ke belakang mengambil segelas air minum. Menyesal aku telah memaksanya banyak bicara. Tapi apa maksud nenek? Apa yang diberikan Tuhan padaku tapi lama aku sia-sakan? Perlu beberapa hari bagiku untuk membongkar habis isi otakku, mencari tahu apa yang nenek maksud. Sampai hari ketiga, aku sadar, aku punya bakat berdagang. Aku senang melakukan itu dan aku termasuk mahir dalam meyakinkan orang. Merayu mereka membeli barang yang aku tawarkan.
            Di mulai dengan merayu-rayu Tante Dewi, tetangga sebelah rumah paman dan bibi, meyakinkannya aku bisa dipercaya membawa barang-barang dagangannya. Tak mudah tentu saja, karena tante ini terlanjur patah arang, banyak dikecewakan orang yang bermulut manis tapi ujung-ujungnya membuatnya merugi sampai belasan juta rupiah.
            “Barang daganganku habis, tapi uang tak kembali.” keluhnya.
            Nenek tampil sebagai palawanku. Beliau sampai pasang badan, meyakinkan Tante Dewi tak ada yang perlu beliau khawatirkan karena nenek akan menanggung penuh atas semua kerugian yang mungkin akan aku timbulkan. Jitu. Tante Dewi yang semula tak percaya, berbalik seratus delapan puluh derajat, menyetujui permintaanku. Tak tanggung-tanggung, dia langsung membekali aku dengan enam jenis barang sekaligus sebagai modal awalku bekerja. Tentu aku senang bukan kepalang. Tak menunggu sampai sepeda motor Tante Dewi menghilang dari pekarangan, aku peluk nenek sekuat-kuatnya sebagai luapan kegembiraanku. Sampai nenek megap-megap, kesulitan bernapas. Aku belum tahu bagaimana ini ke depannya, tapi perasaanku menandakan kemajuan.                    
            “Tapi ingat! Nenek hanya berpura-pura saja melindungimu.” Nenek memasang wajah galak. Aku tahu gembiranya melebihi gembiraku atas kesempatan baik ini.
“Kau tanggung sendiri akibatnya kalau sampai mangkir.”
Alhamdulillah, semuanya berjalan mulus. Titipan pertama laris manis terjual dan keuntungannya bisa dibilang tak mengecewakan. Aku ingat senyum Tante Dewi saat pertama aku serahkan setoran pertama. Dia bilang, dari semua yang bekerja dengannya aku yang paling cepat menyerahkan setoran dan jumlahnya paling memuaskan pula. Bisa ditebak, barang kedua, ketiga dan selanjutnya bisa dengan lebih mudah aku bawa.
            “Yang penting kejujuran. Itu modalmu yang utama.” pesan nenek selalu pada aku yang sudah melupakan cita-citaku bekerja kantoran.
           
            Usaha dagang dengan system kredit ini tak aku sangaka maju dengan sangat pesat. Hanya satu tahun berselang, perlahan tapi pasti, usaha kecil-kecilanku ini mulai menampakan hasil. Aku tak sekedar membawakan barang-barang dagangan Tante Dewi saja, tapi mulai sedikit-sedikit membawa barang-barang dagangan milikku sendiri. Sedikit kemudian menjadi bertambah banyak, lalu bertambah banyak lagi. Aku semakin tenggelam dalam keasyikanku berjualan. Sampai aku hampir lupa bagimana cara menulis sebuah surat lamaran itu. Aku senang sekali tapi tak merasa puas. Maksudku, aku mulai memikirkan cara lainnya untuk melebarkan sayap usaha. Bagaimana caranya agar usaha yang aku jalankan ini menjadi lebih maju lagi. Termasuk
            “Bagaimana kalau membuka toko sendiri?” usul nenek dalam percakapan kami di telepon siang menjelang sore itu.           “Itu terlalu mahal, Nek. Mana cukuplah uang Luh.”
            “Kalau begitu buat saja lapak. Tidak buruk buat pemula.” Saran nenek lagi. Beliau masih tinggal di kota kecil itu bersama paman dan bibiku, sedangkan aku kembali tinggal bersama kedua orangtuaku karena aku percaya di kota kami ini, membuka bisnis pasti lebih maju.
            Aku menggeleng lagi. Membuat sebuah lapak juga tak murah. Yang resmi tentu saja. Harus menyewa tempat, kemudian membangunnya. Itu perlu uang yang tak sedikit.
            “Kalau begitu, sewa saja. Menyewa sebuah lapak yang sudah jadi. Bagaimana kau ini! Begitu saja tidak tahu!!” Sekali lagi pemikiran nenek  yang cemerlang menggebrak kebuntuanku.
            Aku sudah hampir membuka mulutku, berterima kasih padanya, tapi nenek mendahuluiku. “Sudah cukup di sini saja!”
“Kau sudah terlalu lama mengganggu waktu tidurku.” pungkasnya kemudian terdengar bunyi klik di ujung sana.
Aku bayangkan nenek dengan langkah diseret-seret naik ke pembaringannya dan menyelimuti tubuhnya yang ringkih dengan selimut tua berwarna hijau botol itu. Peninggalan mendiang kakek yang seingatku sudah ada sebelum aku di SMP.
Dulu sewaktu masih di sana, aku lupa memberikan sesuatu kepada nenek sebagai ungkapan terima kasihku meski aku tahu nenek tak pernah mengharapkan apapun dariku. Dalam hati aku berjanji, kelak bila impianku mempunyai sebuah toko pakaian sendiri tercapai, nggak pake lupa dan nggak pula pakai lama, segera aku kirimkan kepadanya selimut baru yang lebih bagus dan lebih tebal, sehingga nenek tak akan kedinginan lagi.  
****
            “Nenekmu sakit keras.” jawab ibu waktu aku tanya apa yang dibicarakannya dengan Bibi Fat tadi di telepon.
            “Sudah seminggu lebih ini. Komplikasi penyakit tua ditambah sembelit. Itu yang Bibi Fat bilang di telepon.” tambah ibu yang hapal betul aku tak senang ada orang mengklasifikasikan penyakit nenek sebagai penyakit tua hanya karena usianya.
            Aku tangkap gelisah di mata ibu. Aku tahu perkara ongkos yang jadi penyebabnya. Bukan sedikit uang yang beliau perlukan untuk bisa menyambangi nenek yang tinggal bersama keluarga Bibi Fat di pedalaman Kalimantan sana.
            “Mungkin ayahmu saja yang pergi.” kata ibu. Tapi dari suaranya, aku tahu ibu juga ingin pergi. Kalau hanya ayah ke sana, setiap orang pasti akan bertanya kenapa ibu sebagai menantu tidak ikut.
            “Pergilah Bu. Kalau memang ibu mau ke sana.”
            “Tapi Luh….” Ibu tak meneruskan kalimatnya. Beliau tahu aku pasti sudah sangat mahfum apa yang akan dikatakannya selanjutnya.
            “Pergilah Bu, kalau ongkos, mungkin Luh bisa bantu sedikit-sedikit.” Aku membujuk. Meski dalam hati aku juga ingin pergi, tapi aku sadar, ibu yang lebih berkepentingan.
            “Tapi Luh….” Kembali kalimat ibu tak berkelanjutan. Mungkin yang beliau maksud betapapun semua orang di dalam keluarga datang, kalau aku sebagai salah seorang cucu kesayangan nenek tak datang, nenek pasti sangat kehilangan.
            “Insya Allah Bu, kalau ada rejeki lagi, secepatnya Luh menyusul ke sana.”
*****
            Hampir seminggu ayah dan ibu di kampung. Alhamdulillah keadaan nenek mulai membaik. Sembelitnya juga mulai jarang. 
            “Tapi Luh, nenek tidak mau makan.” cerita Ibu padaku di telepon.
“Setiap hari setiap waktu, selalu kamu yang ditanya nenek.” Tak peduli siapapun yang datang menjenguk, kalau aku belum datang, nenek masih terus menanyaiku.
Tak peduli bagaimana cara mereka merawatnya, nenek selalu membanding-bandingkan dengan caraku merawat beliau yang menurut beliau lebih telaten. Aku tersanjung, tapi lebih prihatin karena aku tak bisa ke sana pada saat nenek membutuhkan aku.
            “Luh usahakanlah bagaimana caranya supaya bisa ke sini juga.” pesan ibu sebelum menutup telepon.
Bukan aku tak mau, ke sana  ke sini aku mencari tiket, tapi setiap biro perjalanan bilang tiket ke kampung kami sudah full booked berkenaan dengan hari sembahyang kubur etnis Tionghoa. Aku katakana itu pada ibu, suaranya khawatir. Ibu bilang, mengetahui aku tak bisa datang, kondisi nenek yang membaik, kembali jatuh sampai ke titik terendah.
            “Tidak pernah seperti ini sebelumnya.” Samar. Timbul tenggelam. Aku dengar tangis ibu yang sekuat tenaga berusaha dia sembunyikan dariku.
            Keesokan harinya aku datangi lagi agen-agen perjalanan yang aku datangi dua hari lalu. Berharap ada orang yang batal pergi dan aku bisa menggantikan posisinya. Tak mengapa meski harus membayar sedikit lebih mahal dari harga normal. Tapi hampir semua biro perjalanan di kota aku sambangi, jawabannya sama dan tak bisa ditawar lagi. Tiket pesawat sudah full booked sampai seminggu ke depan.
            Tengah malam, aku terbangun, tesandung, tersuruk-suruk, meyambut telepon yang bordering-dering. Aku angkat, ternyata ibu di seberang sana. Ibu menangis, Tersedu sedan dan kali ini beliau tak berusaha menutupinya dari aku. Saat dikatakannya, badanku luruh lunglai terkulai di lantai. Nenek tutup usia setengah jam yang lalu.
*****
            Tak terasa, genap setahun sudah nenek tutup usia. Sejak kemarin, ibu sibuk menyiap segala sesuatu untuk pengajian memperingati setahun wafatnya nenek.
            Aku katakan pada ibu, belakangan ini beberapa kali aku bertemu nenek dalam mimpi.
            “Mungkin nenek marah ya Bu, Luh tak datang waktu nenek sakit keras.” kataku menyesal. Sampai sekarang tak habis rasa menyesalku.
            Ibu menggeleng keras. Sebagai menantu, ibu hapal betul bagaimana mertuanya itu.
            “Tidak, mana mungkin orang yang sudah berlainan alam dengan kita marah pada Luh.” jawab ibu sambil mengelap piring-piring.
            “Mungkin Luh sendiri yang merasa bersalah.”
            “Bersalah?”
            “Pernah buat nenek kesal nggak tapi tak sempat minta maaf? Atau pernah diam-diam berjanji mau melakukan sesuatu buat nenek tapi juga tak sempat karena nenek keburu tutup usia?” Ibu melanjutkan dengan mengelap gelas-gelas sekarang.
            Aku tersentak. Bagaimana aku bisa sampai lupa? Mungkin ini yang menyebabkan nenek selalu mendatangiku di mimpi. Aku katakan itu pada ibu, beliau tertawa dan menggeleng-geleng.
            “Luh, Luh, itu tambah tidak mungkin! Sebuah selimut?” Ibu senyum-senyum. Ibu bilang, tidak mungkin orang yang sudah meninggal dunia menagih janji. Orang yang sudah meninggal dunia tak perlu apapun dari dunai ini kecual doa tulus kita supaya mereka di alam sana.
            “Mungkin Luh sering lupa mengirimi nenek doa.” ibu yang sudah selesai dengan mengelap piring-piring itu.
            Benar juga. Selama aku sibuk dengan pekerjaanku, selama itu juga sholat yang aku lakukan asal lalu saja. Asal menggugurkan kewajiban. Tak jarang, selesai sholat aku terburu-buru melanjutkan pekerjaanku, lupa berdoa. Aku dimabuk kesibukan sampai lupa semua yang aku miliki sekarang dari Dia yang Maha Pemberi.
            Malam ini, pertama dari sekian malam yang berlalu, aku kembali larut dalam untaian ayat-ayat suci. Berulang kali ibu memanggilku dari ambang pintu, berkali juga aku jawab dengan jawaban yang sama, aku akan makan nanti selesai surah yasin dan doa arwah ini aku baca. Nenek begitu mendukungku waktu aku jatuh, menyemangati aku agar tak ragu mempunyai impian. Tapi aku tak bisa memberikan apapun kepadanya sekarang selain doa tulus yang aku panjatkan yang semoga Allah emnijabahnya. Ini kado paling nenek inginkan sekarang.

YUK, BERWISATA KE PALEMBANG!


YUK, BERWISATA KE PALEMBANG!
<a href="http://wongkito.net/01-04-2012/kompetisi-blog-pesona-sumatera-selatan.htm"><img src="http://wongkito.net/badge/widget-kompetisi-blog.jpg" alt="Kompetisi Blog Pesona Sumatera Selatan" border="0" /></a>
Oleh: Eka Novita Damayanti
            “Wah, Palembang ya? Wong Kito galo!” sebut seorang bapak kepada saya ketika beliau tahu tujuan penerbangan saya.
 “Pek Mpek!” Yang lainnya menyebut,
“Jembatan Ampera!” Sambung lainnya.
Ya, Sumatera Selatan terlanjur kondang dengan simbol-simbol yang mereka sebutkan, meskipun sebenarnya masih banyak lagi yang patut kita ketahui dan sambangi.
Terletak di jalur lintas Sumatera yang strategis, Sumatera Selatan bisa dicapai melalui jalan darat, laut dan udara, tergantung berapa anggaran yang anda miliki. Bila jalan udara yang menjadi pilihan anda, siapkan biaya sekitar Rp. 400- 500 ribu (harga berflukstuasi). Pada peak seasons seperti hari liburan sekolah, lebaran, tahun baru, Qing Beng dan lain-lain) harga bisa menjadi lebih mahal.
Tapi jangan khawatir, karena Anda masih punya alternatif lain yaitu jalan darat. Naik bis antar kota dari Jakarta atau kereta api dari Lampung yang pastinya waktu tempuhnya lebih lama namun biaya yang harus dikeluarkan bisa jauh lebih murah bergantung bis atau kereta api apa yang Anda pilih, kelas apa dan musinm keberangkatan Anda. Sebagai ilustrasi, bila bis sekelas Harum, Kramat Jati, Lorena dan Putra Remaja yang menjadi pilihan Anda, ongkosnya sekitar Rp. 200- 250 ribu di musim biasa. Alternatif terakhir adalah naik kapal laut bila posisi Anda sekarang ada di Kalimantan Barat dan sekitarnya. Yang ini bisa dikatakan tak terlalu menjadi pilihan karena waktunya yang jauh lebih lama.  
Apa yang unik tentang Palembang? Banyak. Ada Jembatan Ampera yang menghubungkan seberang hulu dan seberang hilir nan kondang itu. Lokasi bisa ditempuh dengan taksi borongan ataupun argo yang tarifnya beragam tergantung pandai-pandainya Anda menawar dan jarak tempuh. Pilihan lainnya yang murah meriah tapi nyaman dan relative aman, adalah menggunakan transportasi bus Trans Musi (bus way-nya Palembang). Tarifnya sekitar Rp. 4.000 saja. Layaknya busway di Jakarta, Anda akan diturunkan pada halte-halte tertentu untuk transit. Ada baiknya Anda bertanya pada kenek bus agar tak kebingungan. 

Jembatan Ampera di waktu malam (courtesy of Jim Rock’s Photograph)

Jembatan Ampera diresmikan sekitar tahun 1965 dan menjadi ikon Kota Palembang segara setelahnya dan sekalian sebagai simbol sejarah juga.  Menurut kabar biaya pembangunan jembatan diambil dari pampasan perang Jepang. Menikmati keindahannya, biasanya dari taman di dekatnya yaitu Benteng Kuto Besak (BKB), alun-alun tempat digelarnya pagelaran-pagelaran akbar kesenian di Palembang sekaligus lokasi sebuah museum tempat dipamerkannya berbagai koleksi. Sekali waktu di tempat ini diselenggarakan pula tari-tarian khas Sumatera Selatan.
Benteng Kuto Besak (BKB) (courtesy of Jim Rock’s Photograph)

Perut lapar, jangan khawatir! Areal sekitar BKB, marak dengan kedai-kedai yang menjual berbagai penganan khas Palembang yang akan memanjakan selera anda. Saran saya, datanglah ke tempat ini pada malam hari. Karena suasananya jauh lebih romantic! ♥ 
Museum BKB Palembang (courtesy of Jim Rock’s Photograph)

Hanya itu saja? Tidak juga. Bila Anda penggemar berat Pek Mpek, di sinilah surganya  ☺ Di sini dan manapun Anda melangkah seantero Palembang, penganan yang kabarnya berasal dari Tiongkok ini denga mudahnya Anda temui. Mungkin Anda sudah sangat terbiasa dengan Pek Mpek merk tertentu yang sudah kondang namanya, tapi Pek Mpek lainnya yang tak bermerk ☺, pun tak kalah nikmatnya. Boleh dicoba! Tapi jangan lupa pula menikmati ragam makanan lainnya yang tak kalah enaknya seperti: Burgo (makanan berbahan dasar ikan seperti Pek Mpek yang dimakan dengan kuah bersantan), Tekwan dan Model (sama berbahan dasar ikan juga tapi kuahnya seperti sayur sop), Matabak India, Pindang Ikan dan Tulang, Kue Delapan Jam, Engkak, Mak Suba, Kerupuk Kemplang dan wuih dan masih banyak lagi !  
Bila Anda seorang penggila belanja dan menginginkan cendera mata khas Palembang, Anda tinggal berjalan kaki sedikit ke arah Pasar 16 Ilir. Di pasar ini akan Anda dapati kain songket khas Palembang dengan harga bervariasi tergantung kualitasnya. Untuk kualitas sedang, harganya sekitar Rp. 750.000, sedangkan untuk kualitas bagus, harganya sekitar Rp. 3 juta. Tapi mungkin bisa lebih murah bila Anda pintar menawar. 
Masjid Agung Palembang (courtesy of Jim Rock’s Photograph)

Masjid Agung Palembang (courtesy of Jim Rock’s Photograph)

            Bila Anda seorang Muslim dan masuk saatnya sholat, Anda bisa mengambil jalan memutar dari BKB melintasi Kantor Pos Besar Palembang menuju Masjid Agung yang merupakan ikon Kota Palembang lainnya selain Jembatan Ampera tadi.  Masjid Agung mengalami beberapa kali renovasi sebelum bentuknya yang sekarang yang desainnya merupakan perpaduan budaya berbagai etnis yang hidup berdampingan di Palembang ini.  Ibarat one stop traveling, tepat di depan Masjid Agung Palembang, terletak Monumen Perjuangan Rakyat Sumatera Selatan tempat Anda bisa sekalian berwisata sejarah di sini.  
Perjalanan wisata kita masih akan berlanjut dan tak cukup dijalani hanya dalam satu hari saja. Masih ada Rumah Limas, rumah adat Sumatera Selatan di Jalan Demang Lebar Daun Palembang dan Pulau Kemarau (berlayar beberapa menit dari Palembang) kondang dengan kelentengnya tempat dilaksanakannya berbagai upacara keagamaan Konghucu yang juga wajib dikunjungi. Soal tempat menginap,  Anda akan menemukannya lengkap di sini. Mulai penginapan berharga seratus ribuan sampai yang jutaan lengkap tersedia di sini. Jadi tunggu apa lagi? Yuk, berwisata ke Palembang!


THE CRAZY MAN

THE CRAZY MAN

In school days, my friends and I always walk through the street. It is the closest way to school. There, under the shady mango three, we see him. A man with his dirty long hair. I don’t know what he has been doing there. But I can see that he always waits there for so many hours. I’m not sure what he waits for.
The man is strange. His body is so dirty. So are his trousers. They are the only clothing he wears. I wonder when the last time he washed his hair and his trousers and took a bath. I suppose it must be a long time ago. Every body says he is so smell. Though I’ve never got close to him, I see no doubt about it.
With his look, he surely scares any body. Especially those young kids. They are frightened to death every time they see him. Once, I saw a kid that was terribly afraid of him pulling and hitting his mother real hard because she insisted taking him passing through the street.
In facts, this man has never bothered others. Never! Like I said he just sits right there under the mango three or walks a long the street. On the contrary, he is always bothered by others. Especially those naughty kids.
“Crazy, crazy!” they shouted at him. He was silent. But those kids got crazier. They were more annoying. Throwing him with any thing closest to them: papers, balls, small branches and even rocks!
“Hey, stop that!” I shouted angrily. “Do you think that was funny?”
“Look, the daughter got angry!” one of them said this ridiculously. Others were laughing.
I looked at the man at a glance. God, his right temple is bleeding! “Do you think that was funny? Look at his temple! It’s bleeding now.” I pointed toward the man.
Those kids stopped laughing. They were watching him. Others whispered to one another. I could hear them saying: “She’s right, he is bleeding! What should we do? We didn’t mean to make him this far, did we?”
“Are you entertained now? Hurting him this far? What will you do if somebody treats your family like you did to him?” I shouted even harder.
They got silent. But not long afterwards a kid that I thought was their leader answered me with his hands on hips: “Yes, we are entertained. Is that a problem to you?”
“Yeah, is that a problem to you?” said another kid. Others were laughing. They became more annoying than before.
“You…!” I could talk no more. The words were stuck on my throat. I could feel the fire in my body. I rose with my head was upright. At the moment, there was nothing else I wanted to do but to fight them. “Ok, you want to fight me? Then we fight!” Those were words that I was about to say. But before I say that, there was a voice heard behind me: “That’s enough, all of you! Don’t you realize that you’ve gone too far?” An old man was saying this. I thought he was about my father age.
“I know you!” he pointed toward their leader. “You must be Benny, Mr. Ruslan’s kid, aren’t you? I can not imagine what your father would do if he knows this.”
Benny was surprised. He didn’t expect the old man knew his father. 
“Or maybe it will be better if he knows this.” He threatened Benny.
 “Oh, please don’t, Sir!” Benny begged him. “I could be punished for more than a week for that.”
“Is that a problem for me?” The old man teased him. He took a cigarette from his pocket. Light it up and took a deep inhale. He repeated what Benny said. He must be somewhere watching us fighting.
“Sir, please! He shouldn’t know this.” Benny cried for his help. I almost couldn’t control my self for not laughing. I’ve never thought some one as arrogant as Benny, do beg!
“Ok, I won’t tell him.” said the old man.
“Really?”
“Only with one condition! You bother him once more, our agreement is over. Deal?”        
“Ok, deal!” Benny replied enthusiastically. Then he together with his friends walked away. The man was about to walk away too when I said this: “Wait!”
He turned his head toward me.
“Thank you for your help, Sir.”
“Oh, never mind! Don’t bother. I didn’t help you any way.” He took couple steps ahead.
“Do you know him Sir?”
He stopped. Then, slowly turned his back. He nodded twice before answered me: “Yes, I know him.”
“Is he your family, friend or……” I was more eager to find out.
He was silent. Thinking. The wrinkles on his face were even more when he was thinking. “He was my colleague and was my neighbor too.”
“What happened to him? Is there any relatives or something?” I asked.
“Why do you want to know? Why do you care about him?”
“I just…..” Again the words got stuck in my throat. I couldn’t figure out any reason to tell him. When saying this, I took a glance at the crazy man. He was approaching a trash can and looking for something from it. His temple stopped bleeding. The old man treated the wound.
“I tell you, honestly, I am happy that you care about him, really. Because not many people do the same. But I got to go now!”
“Wait, Sir!” I tried to hold him.
“What now?” He was a bit up set. “I’m in hurry. I got to home now to get him ……. It’s too late!”
“What? What is too late?” I asked him curiously.
His hand appointed towards the crazy man. “Look….! Now he has to eat from the garbage.”
“Oh…I’m so sorry Sir, I didn’t mean……”
“Don’t! After all that wasn’t your fault. I am used to bring him food and water, but I have been busy these three days that I forgot him. He must be starving now.”
“I’m so sorry, Sir.”
“This isn’t the first time he eats from the garbage.”
I could see tears full of his old eyes while saying this.
“What had happened, Sir?” my voice was trembling.
The old man that later known as Pak Memed told me about what happened years ago when he and Pak Muskin, the crazy man’s name, were employees of a paint factory. That day, very surprisingly, their employer announced that they would do great number of suspension. Pak Muskin was included on their list.
“But Muskin was a fighter. He didn’t give up so easily. With separation pay he got, he tried to start a new business.” The old man told me. “He worked so hard. And not afterward, his business was making a progress.”
“What kind of business was that?”
“Trading kerosene in his house. Small business, big risks”.  The old man took a minute to take a deep breath once more. Then he looked at a distance. Thinking. I had to wait for couple minutes before he continued talking. “That day, when he went to check his order, his house got burned.”
“Got burned? How?”
Again he was silent and said nothing. I knew it wasn’t easy for him to tell a stranger like me this pain. I could see that from the shining in his eyes.
Hmm, that’s ok if you mind, Sir. Sorry, I …..”
“Burning mosquito repellent.”
“Excuse me?”
“It was because of burning mosquito repellent they used the night before the accident. Unfortunately, they forgot to extinguish it in the morning. And wushhh …..” he wagged his hand in the air. “All his belongings were disappeared in a very short moment.”
It was such a terrible experience he had. I can’t imagine what I would be if I experienced the same thing.
“So…the fire caused him this way?” I asked him with my eyes staring Pak Muskin enjoying his ‘meals’.
“No.” The man pulled one more cigarette out of the box. But he just held the cigarette between his fingers. “The fire didn’t cause him loosing his mind.”
“No?”
“No.”
The old man said right after the accident, Pak Muskin intended to start his business all over again. But his wife didn’t think the same way like he did. She thought he was over. Her future with him had ended. They fought over anything, anything, since the fire. She complained almost about everything. And finally, she decided to take their small kids with her and leave him. He couldn’t find them ever since. And neither had they tried to contact him.
“That caused him this way.” Pak Memed told me.
 I heard him with tears filled in my eyes. I don’t cry easily, but that day those tears fell down from my eyes just like that.
 “I’m so sorry to hear that.”
“Yeah, me too. And I’m sorry for my self because there is not much I can do for him except to protect him from those bad kids and to bring him food and water.”
***
Today is just like another day. I’m walking through the street again to go to school. But I’m all alone now. When my friends came to my house asking me to go together with them, I said I still had something to do and asked them to go first.
“What do you want to do? Don’t tell us you haven’t done your home work!” they wondered.
“No! It isn’t home work. This is something else. But I can’t tell you now. So if don’t mind, I’ll leave you because there are many thing I need to do.” I smiled.
“What…?”
“You would be better going now. Bye!” I interrupted.
  “So strange!” They were fed up.
Today, before I left, I prepared meals and put it into a small lunch box. This isn’t for me, but for Pak Muskin.
“There you go!” I said to my self when I saw him sleeping by a veranda of a shop. He is bending his body in a way while sleeping to keep his body warm. No wonder, rain was falling down all night long.
I put the meal box out of my bag and place it right in front of him so he can see it when he wakes up.
“Thank you.” said somebody. I turned my head to find out who’s talking. I am a bit surprised because some body is him, Mr. Muskin. He did talk to me.
“Thank you for the food.”
“You’re welcome.” I gave him my best smile and walked away.
 In my way to school, I keep thinking about him. To me, Pak Muskin isn’t that crazy. He proved it me just now. I suppose he has just shocked.
Later, I go back home I will find Pak Memed and tell him what I was thinking about Pak Muskin all night long. I will suggest him that it will be better if Pak Muskin is taken to a mental hospital. I believe Pak Muskin will be well medicated there. I think he will be agreed with me. He cares about him a lot. I guess it hasn’t come to his mind. That’s all.